Bagian 6 : Alibi

56 6 0
                                    

Setiap manusia punya alasan dalam berbagai hal. Dan alasan itu tidak harus selalu diungkapkan. Cukup hati dan pikiranlah yang berdebat soal itu.

-Alfian Mahendra

***

Alfian memperlambat laju mobilnya begitu ia sampai di depan sebuah rumah megah bercat hijau toska. Rumah bertingkat dua itu berpagar satu setengah meter. Di bagian luarnya, terdapat sebuah taman cukup besar bertabur bunga lilly dan berbagai jenis bunga lainnya. Di tengahnya terdapat dua buah kursi malas untuk bersantai.

Alfian masuk ke rumah itu. Ia tidak perlu menekan bel terlebih dahulu, karena ia tahu tidak akan ada yang menjawabnya. Rumah ini seakan tak berpenghuni. Padahal, nyonya dari rumah ini selalu ada dan tidak pernah kemana-mana. Memang, setelah mengantar Karina pulang tadi, ia tidak berniat langsung pulang ke rumah. Ia membelokkan mobilnya menuju blok lain di perumahan itu. Siapa lagi kalau bukan Luna, tantenya yang beberapa saat lalu diceritakan Alfian kepada Karina. Rasanya sudah lama ia tak berkunjung kemari.

Sementara itu, sang tuan rumah yang tengah memasak dibuat sedikit kaget karena seseorang memeluk pinggangnya dari belakang. Lantas ia berbalik, dan mendapati Alfian tengah terkekeh melihat raut kekagetan di wajah tantenya itu.

"Kau mengagetkanku, Fian. Sejak kapan kau di sini?" Tanya wanita itu sambil kembali fokus pada masakannya.

"Sejak tadi. Habisnya, tante fokus banget sih sama masakannya, sampai-sampai gak menyadari kehadiran Fian di sini."

"Hmmm.. Begitu ya. Ngomong ngomong, angin apa yang berhasil membawamu kemari, sayang?"

"Hmmm.. Apa ya? Fian gak tahu. Fian cuma kangen masakan tante aja." Ujarnya sembari terkekeh. Ia mencomot kue yang ada di meja makan.

"Huhh, dasar kau ini. Selalu begitu."
Luna hanya menghela napas menghadapi tingkah keponakannya itu. Sudah terbiasa memang, jika Alfian datang padanya hanya untuk mencicipi masakannya yang terbilang lezat itu. Ya setidaknya tidak kalah dengan rasa masakan para koki di restoran atau cafe.

"Om Herman masih tugas ya, Tan?"

"Kalau sudah tahu, kenapa masih bertanya?" yang ditanya malah balik bertanya.

"Apa om Herman gak cape ya? Bolak-balik keluar kota, keluar pulau, keluar negri. Dia kan sudah tua. Seharusnya dia di sini saja, apa dia tidak khawatir kalau istrinya yang cantik ini diambil orang,"

"Hussh kau ini! Tidak baik berkata seperti itu."

Luna mendengus kesal mendengar ocehan keponakannya itu. Luna lantas mengambil mangkuk dan menuangkan sup panas yang sudah matang, lalu menyajikannya di atas meja.

"Tante, Fian mau nginep di sini, boleh ya?" rengeknya manja. Seperti anak kecil.

"Kau sudah izin pada ibumu?"

"Belum. Nanti saja."

"Ya sudah. Sana mandi, badanmu bau seperti kambing. Jangan mengganggu hidungku dengan bau badanmu yang tidak sedap itu, sayang."

"Siap bosku!"

📖📖📖

Malam semakin larut. Alfian tengah bersantai di ruang keluarga tantenya. Setelah makan malam tadi, Alfian lebih memilih duduk di karpet dan menonton tv ketimbang membantu tantenya membereskan bekas makan malam. Dia baru saja menelepon ibunya, memberitahu sekaligus meminta izin bahwa ia menginap di rumah Luna. Tidak sulit baginya untuk mendapatkan izin, karena toh jika tak diizinkan pun ia akan tetap bersikeras pada keinginannya. Keras kepala.

"Tante, apa tante mengenal Karina?" Tanyanya memulai pembicaraan.

"Karina yang mana, Fian?"

"Karina yang tinggal di blok C nomor 14 itu loh."

"Hmmm... Anaknya Leona maksud kamu?"

Alfian mengedikkan bahu.

"Aku gak tahu nama ibunya."

"Dia sering datang kemari membawakan kue-kue dari ibunya. Kami bertetangga dengan baik. Tante suka gadis itu, dia gadis yang ramah pada siapapun."

"Apa tante tahu siapa ayahnya?"

Luna mengedikkan bahu.

"Entahlah. Setahuku, mereka tinggal berdua. Ibunya seorang perawat."

Alfian hanya menanggapi dengan anggukan kecil. Matanya kembali fokus pada layar televisi yang sedang menayangkan pertandingan bola basket kelas NBA. Tangannya sesekali mengambil dan memakan camilan yang ada di sebuah toples di depannya. Luna sudah sibuk dengan ponselnya.

"Apa saja yang tante tahu tentang dia?"

"Tante tidak banyak tahu. Yang jelas, kami bertetangga sudah sejak lama. Tante ingat saat pertama kali dia datang ke rumah ini dengan malu-malu sambil membawa toples kue yang terbungkus kantong plastik."

"Benarkah? Seperti apa ekspresi wajahnya?'

"Hmmm... Merah seperti udang"

Alfian terbahak. Ia membayangkan wajah lugu Karina yang berwarna merah seperti udang rebus. Pasti sangat lucu dan menggemaskan.

"Apa dia punya pacar?"

Luna tersentak dengan pertanyaan barusan.

"Kenapa?"

"Kenapa apanya?"

"Kenapa kamu terus-terusan menanyakan dia?" Ups, sepertinya Alfian ketahuan kalau dia sedang mengorek informasi tentang gadis itu. Luna menatapnya penuh curiga, seakan siap menginterogasi dia dengan beragam pertanyaan.

"Apa kau menyukainya?" Luna menggodanya.

"Ah...t...tante ada ada saja. Mana mungkin lah, dia bukan selera Fian." Bohong! Alfian berbohong pada dirinya sendiri.

"Begitu ya. Nanti tante bilangin ke dia kalau dia bukan selera kamu." Goda Luna lagi. Muka Alfian bersemu merah.

"Jangan dong. Nanti dia gak mau lagi temenan sama Fian." Alfian merajuk manja. Luna hanya geleng-geleng kepala.

"Apa ini alasanmu menginap di sini?"

"Tidak salah dan tidak sepenuhnya benar, tanteku sayang."

Aku tahu ini hanya alibi, Alfian. Aku tahu kau menyukainya. Wajah dan matamu memberitahuku semua itu. Aku mengenalmu, jauh lebih mengenalmu. Jangan berbohong pada dirimu sendiri, jika kau tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama.

Ungkap Luna dalam hati. Ia menatap Alfian yang pura-pura tidur karena tak ingin ditanya lebih jauh mengenai keingintahuannya tentang Karina.

Putramu sudah mulai jatuh cinta lagi, Mbak Tika. Aku bisa melihat sebuah harapan dari sorot matanya.

***

Thanks😍

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Thanks😍

THE AFFORDABLE HEART (SERI 1) (TAMAT✔✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang