Asal kau tahu, dengan terus bersamamu aku dapat merasakan apa yang sudah hilang dan terpendam sangat lama kembali padaku.
-Karina Adiwinata
***
Hujan masih belum reda. Rintik-rintiknya masih berjatuhan ke bumi. Terkadang, Karina merasa iri kepada hujan, atas kerendahan hatinya tetap turun meskipun berkali-kali jatuh dan kadang tak diinginkan kehadirannya. Tidak seperti manusia yang hanya bisa membusungkan dada tanpa tahu artinya etika pada sesama. Mungkin, bila semua orang bertingkah seperti hujan, di dunia ini tidak akan ada yang namanya derita karena perbedaan strata.
Di sini, di ruangan bernuansa oranye ini, Karina tengah duduk seorang diri. Menunggu orang yang akan membebaskannya dari rasa tidak nyaman karena dingin datang. Angin menyusup lewat celah jendela yang sedikit terbuka. Menusuk ke dalam tulang, masuk melalui pembuluh darah. Dingin dan dingin, itu saja. Jemarinya mengepal menahan gigil, memeluk tubuhnya sendiri.
"Ini, sayang. Pakailah. Itu adalah baju saya saat berusia dua puluhan dulu." Ujar seorang perempuan berpakaian piyama sambil menyodorkan satu stel pakaian hangat. Dengan senang hati Karina segera menerimanya. Ia tak ingin berlama-lama menahan dingin.
"Terima kasih, Tante. Maaf Karina jadi ngerepotin," wanita itu tersenyun.
"Enggak kok. Saya justru yang mau bilang terima kasih karena sudah membantu Alfian dan sudi mampir ke sini. Padahal jarang-jarang loh Alfian ngajak teman perempuannya main ke sini,"
"Benarkan tante? Wah Karina kok jadi ngerasa seneng ya. Berarti Karina termasuk salah satu orang yang beruntung dong ya?"
"Iya. Hmm, saya harap kamu jangan kapok ya. Alfian memang seperti itu, kadang begitu menyebalkan."
Karina jadi teringat pada kejadian beberapa saat lalu, ketika Alfian berada begitu dekat dengannya, bahkan setengah menindihnya dari samping. Hembusan napasnya begitu terasa di wajah Karina, begitu dekat sekali. Karina merasakan gugup yang luar biasa karena posisi mereka. Belum lagi manik mata hitam Alfian yang tak berhenti menatapnya. Ia jadi ngeri sendiri, kalau saja hujan tidak turun menyelamatkannya. Lalu beralih pada pembicaraan tadi, ketika Alfian berdebat dengan mamanya hanya karena ia enggan meminjamkan pakaiannya dengan alasan yang terbilang sedikit mengarah pada hal semacam...
"Hei! Ayo ganti baju kamu, saya tunggu di bawah ya. Kita makan sama-sama," suara wanita itu langsung mengenyahkan segala pikiran kotor Karina. Buru-buru ia menuju kamar mandi untuk mengganti pakaiannya. Ada sedikit rona merah terpancar di wajag ovalnya yang cantik.
📖📖📖
Suasana ruang makan terasa hening. Hanya ada bunyi sendok dan garpu yang sesekali menimbulkan bunyi "ting" karena beradu dengan piring. Alfian menyantap menu makannya sambil sesekali melirik ke arah gadis manis di depannya. Senyum simpul Alfian terbit di bibirnya yang tipis.
Merasa diperhatikan, Karina hanya menunduk saja. Dia tidak ingin melihat lesung pipit yang tercetak di pipi orang di depannya yang sesekali menatapnya intens. Sedangkan wanita di sebelahnya sibuk dengan ponsel dan makanannya.
"Hari ini kamu nginep di sini aja," suara bariton itu pun memecah keheningan. Agaknya, Karina sedikit tersentak dengan suara yang menginterupsinya itu.
"Kenapa Kak? Aku pulang saja. Lagian proposalnya sudah selesai, jadi kakak tidak perlu bantuan lagi." Wanita di sampingnya hanya melirik sekilas, lalu menggelengkan kepala sambik kembali fokus pada kegiatannya.
"Di luar masih hujan. Sudah malam juga. Bidadari gak boleh main hujan-hujanan, apalagi malam."
"Tapi Kak-"
"Gak ada penolakan. Mama kamu juga udah ngizinin. Dia gak bisa pulang malam ini."
Akhirnya Karina hanya bisa pasrah. Toh cuma sekali ini saja. Karina tidak perlu taku terjadi apa-apa karena ada mama Alfian di sini. Lagipula dia juga malas kalau hujan begini sedirian di rumahnya. Wajahnya tampak kesal. Sedang di sana, Alfian tersenyum penuh kemenangan karena berhasil menahan gadis manis pecinta basket itu tetap berada di rumahnya.
Setelah acara makan selesai, Karina dan Tika beranjak menuju ruang keluarga. Sebuah ruangan interior klasik yang didesain mirip sebuah multimedia dengan begitu banyak lukisan tertempel di dindingnya. Sedangkan Alfian, sudah dari tadi keluar untuk membeli camilan.
"Karin, mau liat kamar Alfian gak?" tanya Tika. Ia bosan karena sedari tadi Karina hanya diam membisu.
"Memangnya boleh, Tante? Kalau Kak Alfiannya marah gimana?"
"Tenang aja, dia nggak akan marah kok. Saya tahu dia tidak bisa marah sama orang yang dia sayang," Karina hanya mengangguk. Tika lalu membawanya ke kamar atas, kamar Alfian.
Karina takjub melihat begitu banyak piala berjejer di sebuah lemari kaca. Bahkan ada yang sampai tingginya satu meter. Tika berjalan di depan Karina sambil sesekali tersenyum. Karina mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Hampir di setiap sudut dinding tertempel poster legenda basket dunia. Bisa Karina simpulkan, bahwa kakak tingkatnya ini memang penggila basket. Bahkan beberapa miniatur dan perlengkapan olahraga itu pun tersedia di sana. Segila itukah Alfian pada olahraga yang satu ini?
"Tante, itu piala apa ya? Kok banyak sekali,"
"Itu piala yang Alfian kumpulkan sejak dari masa SMA. Ya banyak sih, macam-macam kejuaraannya. Mulai dari olimpiade fisika, kimia, biologi, Bahasa Inggris, bahkan sampai bahasa Jerman juga. Tapi kebanyakan sih piala dari kejuaraan bola basket. Yah, kamu tahu sendiri lah Alfian seperti apa. Kamu sendiri, kenapa suka basket?"
"Lho, dari mana tante tahu?" Karina merasa bingung, dari mana calon mertuanya ini, eh mamanya Alfian tahu kalau dia suka pada olahraga yang menguras tenaga ini?
"Alfian pernah cerita kalo ada seorang perempuan yang tidak terlalu pandai bermain bersama klubnya dengan permainan yang luar biasa." jawab Tika. Tika senang karena Alfian kini lebih terbuka setelah mengenal Karina.
"Masa sih Tan? Kak Fian kayaknya berlebihan deh. Karina main biasa aja kok, enggak sebagus itu," ucapnya malu-malu. Alfian, kau membuatku gugup, batin Karina.
Mereka lalu larut dalam perbincangan hangat. Menceritakan segala hal yang berkaitan dengan Alfian membuat hati Karina menghangat. Entah sihir apa yang dipakai Alfian hingga Karina merasakan sesuatu yang pernah hilang kembali padanya tanpa ia sadari.
Mungkinkah dia sudah jatuh hati padanya? Kenapa setiap kali berada di samping Alfian selalu membuatnya merasa nyaman? Jika benar, akan seperti apa akhir kisahnya? Apakah bahagia seperti di FTV-FTV atau justru sebaliknya?
Entahlah. Hanya Tuhan yang tahu.
***
Halooo
Lama gak update hihi😁maaf ya akhir-akhir ini mood nulisnya lagi menguap entah kemana. Semoga kalian suka ya😁Vote kalau suka, tidak pun tidak apa-apa😄✌
KAMU SEDANG MEMBACA
THE AFFORDABLE HEART (SERI 1) (TAMAT✔✅)
General FictionHadirmu adalah anugerah terindah bagiku. Kau seolah-olah terlahir sebagai pengganti atas bagian dari jiwaku yang telah lama hilang. Aku selalu berpikir, mungkinkah kau adalah malaikat tanpa sayap yang dikirimkan Allah untuk menjagaku? "Kau mau menun...