I. New Family

9.6K 525 14
                                    

Gerakan mobil melambat seiring memasuki sebuah rumah besar berpagar tinggi. Jeny memandang halaman luas dikelilingi kebun bunga dan aneka bentuk rumput yang terpelihara rapi. Pohon akasia dan bonsai tampil cantik menjadi hiasan halaman besar lagi lebar ini. Terlihat beberapa pelayan wanita berseragam hitam tengah menyiram bunga dan para pekerja mondar-mandir membawa segala urusannya. Sesekali mata mereka menatap penasaran pada mobil yang ditumpangi Jeny.
Sentuhan lembut ditangan membuatnya menoleh, ia melihat ibunya mengukir senyum.

"Kenapa sedari tadi kau diam, Jen? Kau gugup? Atau ada yang mengganjal hatimu?" Ibunya mengamati wajah anaknya berusaha mencari makna namun sedikit pun tak bisa ia tebak di balik beku wajah itu.

"Tidak keduanya." Jeny mengalihkan tatapan, memandang awan dari kaca mobil. Sorot matanya hampa dan wajahnya terkesan datar.
Ibunya Jeny sekali lagi menatap rupa anaknya. Mencari sepercik emosi saja darisana. Kemudian tatapan itu berhenti pada satu gores bekas luka sayatan di bawah rahang yang terlihat jelas dari arah dekat ia berada saat ini. Matanya berganti sendu lalu menundukan kepala. Tergambar jelas peristiwa lampau dimana anaknya mendapatkan luka itu. Namun ia tidak bisa melakukan hal banyak.

Ia menghela napas sebelum berujar, "Tomy, orangnya baik, Nak. Dia pasti menyayangimu. Dan ku rasa Galang akan menjadi Kakak yang pengertian." Ucapnya menyemangati.

"Yah, ku rasa." Suara Jeny mengalun bosan dan dari nadanya ia tau ingin berharap apa-apa.

Lina, Ibunya Jeny terlihat menghirup nafas sabar, "Kita sudah membahas ini semalam, Jen. Dan lupakan pikiran negatif yang ada dikepalamu itu. Tomy akan menganggap kau sebagai anaknya begitu juga Galang akan menyayangimu sebagai adiknya."

"Tidak ada yang sayang pada orang yang sudah mengambil Ibunya." Cetus Jeny.

Lina nampak tercengang mendengar penuturan putrinya yang tidak disangkanya itu, "Ya, ampun Jeny! Kita hidup di dunia nyata bukan sinetron. Dan Ibu sudah mengatakan ini semalam bahwa Ibu tidak mengambil suami orang manapun."

Jeny berbalik menghadap Ibunya, menatapnya lekat-lekat. Wajah kerasnya yang berupa bertahanan pecah. Mengabur menjadi emosi yang meledak-ledak, "Lalu kemana istrinya? Dan kenapa Ibu mau menerimanya sebagai suami? Kalau dia seperti Ayah bagaimana?! Aku tidak mau di pukul lagi! Aku lebih baik hidup sendiri!"

Jeny berteriak, menumpahkan semua beban pikiran semenjak duduk di mobil itu. Matanya memerah membawa genangan di pelupuk mata, ia tahan agar tak tumpah. Benaknya kacau. Dadanya sesak menggali memori kelam itu. Wajar ia bersikap begitu, empat bulan terlepas dari rumah traumatis dan segala kenangan buruk di dalamnya beserta sosok yang kini di penjara. Tinggal di kos-kosan kecil pinggir kota, makan hanya dua kali sehari dan tiba-tiba ibunya berkata malam itu ia sudah menikah dengan seorang pria. Bukan hanya pernikahan yang bahkan ia tidak diberitahu apapun tapi juga kepindahan mereka ke rumah mewah milik suami baru ibunya. Tidak cukupkah ibunya ini dengan pengalaman pernikahan sebelumnya? Apakah ia tidak takut akan kegagalan untuk kedua kalinya?

Namun, Lina menggenggam tangannya, menepuknya dengan lembut. Wajahnya menunduk lalu menatap Jeny dengan pendar matanya yang hangat bercampur sendu. Tangan satunya terulur mengusap pipinya, "Kita sudah bebas, Nak. Dia sudah mendapatkan hukumannya. Dan mengenai Tomy, Ibu yakin Tomy bukanlah laki-laki seperti Ayahmu. Dia baik. Dan Istrinya sudah lama meninggal gara-gara sakit."

Jeny mengamati wajah Ibunya, mencari kebohongan didalam sana namun tak ia temukan. Mungkin itu memang benar. Tapi, sedikitpun tidak mengurangi gelisah dalam dadanya.

"Usap dulu air matamu, kita sudah sampai." Ucap Ibunya lagi dibarengi dengan gerakan mobil yang berhenti.

"Aku tidak menangis." Sahut Jeny ketus.

Lina tak mempermasalahkan sahutan Jeny karena matanya sudah tertuju kearah depan. "Kita sudah ditunggu," senyumnya mengembang.

Jeny melihat ke arah yang sama dimana dua orang pria sudah menunggu mereka di muka pintu. Satu berumur empat puluh tahunan dan satunya lagi seusianya. Ibunya sudah lebih dulu membuka pintu dan menyeret kopernya, Jeny mengikutinya dari belakang.

Pria yang dipanggil Tomy oleh ibunya tersenyum ramah ke arah mereka, "Selamat datang Istriku." Tomy merangkul pinggang Ibunya lalu mencium pipinya. Matanya beralih ke arah Jeny "dan ini pasti Jeny, selamat datang sayang." Tangan besar dan lebar itu mengusap kepala Jeny dengan lembut.

Jeny membalasnya dengan mengangguk kaku. Dia terlihat seperti apa yang Ibunya katakan. Ia harap akan seperti itu terus.

"Dan, ini perkenalkan, namanya Galang. Dia akan menjadi kakakmu sekarang." Tomy menepuk bahu pria disebelahnya.

Jemy menatapnya, pemuda itu lebih tinggi darinya. Jeny hanya sebatas pundaknya. Kulitnya putih, memiliki bahu lebar, hidung mancung, bibir tipis, alis tebal dan bulu mata yang lebat dibingkai dengan tatapan yang tajam. Dari segi keseluruhan dia sempurna. Galang tersenyum tipis ke arah Jeny serta mengulurkan tangannya. Jeny membalas ulurannya.

"Galang, tunjukkan kamar Jeny." Ucap Tomy yang sedang mengambil alih koper Ibunya.

Galang melakukan hal yang sama, ia mengambil kopernya. Dan berjalan lebih dulu. Mereka mulai menaiki tangga lebar yang meliuk sampai ke lantai dua. Berjalan dibelakangnya, Jeny melihat banyak hal. Rumah ini benar-benar luas. Lampu gantung kristal menghiasi atap di lantai pertama. Lukisan bernilai tinggi dan barang antik memenuhi di sepanjang dinding tangga menuju ke atas. Sampai di atas matanya di suguhkan pemandangan berkelas sekaligus klasik di ruangan keluarga. Deretan sofa mahal dan alat elektronik canggih lainnya. Ada Home Teather di ruangan lainnya. Langkah kaki mereka belum berhenti. Memasuki lorong panjang, matanya masih di suguhkan benda-benda berkelas. Guci-guci mahal, lukisan mozaik memenuhi lingkar lorong dan hiasan-hiasan dinding yang berkilau.  Ada dua pintu ruangan di ujung sana. Satu berwarna coklat polos dan satuny lagi berwarna pink. Jangan katakan pintu warna pink itu adalah...

Galang meletakan kopernya di depan pintu berwarna merah jambu. Ia memasukan kunci dan membuka pintu itu.

"Ini kamarmu."

Mata Jeny seketika menyipit dan dahinya mengerut dalam melihat keadaan didalam sana yang bertambah parah. Semuanya dikelilingi warna pink. Jeny menghela nafas.

"Kenapa?" Galang menoleh ke arahnya.

Rupanya helaan nafasnya tadi terdengar, Jeny menggelengkan kepala.

"Tidak apa-apa."

Galang menaikan alisnya mendengar reaksi datar itu, namun ia tak memperpanjangnya lagi, "Jika kau perlu bantuan, kau bisa panggil aku. Itu adalah kamarku." Dia menunjuk pintu coklat itu.

"Terimah kasih." Kata Jeny dengan suara kecil.

Galang menjawabnya dengan gumaman lalu hilang dibalik pintunya.

✍✍✍

[2 oktober 2018]

Hayyy, aku membuat Dark Series keempat. Entah sampai series ke berapa. Jangan terlalu berharap tinggi sama aku ya, karena berharap tinggi tanpa kepastian itu sakit loh wkwkwk...

Dan buat kalian yang mau baca sampai Dark Series keempat ini, selamat anda memiliki kesabaran yang tinggi hahaha...

Udah itu aja, buat yang mau nungguin dan baca serta vote dan komen. Makasih ya 😉

Kalau mau kasih saran dan kritik tentu yang membangun ya, hayook aku mah mau aja.

Cerita ini di revisi dan di repost karena di tolak dreame duh sedih 😂

HIDDEN [Dark Series IV] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang