XXXVI. Finding You

1K 220 16
                                    

"Kau tak bermaksud membohongi ku kan?" Tanya Galang retoris sambil melirik bangunan di depan mereka. Angin dingin malam terus bertiup. Bulu-bulu halus di tangannya kadang-kadang tegak berdiri walau sudah di usapnya. Arlojinya menunjukkan pukul dua belas malam.

"Tidak." Aksa mengambil langkah maju. Namun, Galang menahan langkahnya.

"Aksa serius?!" Ia hanya ingin melegakan dirinya sendiri entah untuk apa. Pengalaman memasuki bekas Rumah Sakit membuat sedikit trauma sendiri baginya. Meskipun tidak berlebihan tapi tetap juga menakutkan.

"Sejak kapan aku bercanda?" Balik Aksa bertanya.

Galang mengusap wajahnya frustasi, "Apakah tidak ada cara lain?"

"Kau takut?"

"Siapa bilang?!" Galang nampak sewot. Dia tidak takut. Hanya sedikit cemas saja. (Sama aja bambang!)

"Gerbang depan tidak di kunci. Jadi kita langsung masuk."

"Aku akan membunuhmu kalau kau berniat menjahiliku Aksa."

"Kau takkan bisa. Kau saja tidak bisa lama-lama melihat darah."

Galang mengatupkan bibir kesal. Mengikuti langkah Aksa. Mereka menerangi jalan dengan kedua senter yang mereka pegang. Bangunan sekolah lebih menyeramkan saat malam begini. Jendela-jendela kelas yang gelap. Lorong yang sedikit cahaya. Bunyi-bunyi yang kadang membuat jantung hampir melompat. Kesenyapan lebih menakutkan diantara segalanya.

"Aku masih tak mengerti bagaimana cara kita untuk kesana." Tak tahan terjebak sunyi, Galang menyuarakan pertanyaan yang sejak tadi di benaknya.

"Aku juga tidak tau. Jalan saja." Enteng sekali ucapan Aksa barusan. Rasanya Galang ingin membuka isi kepala temannya. Namun, ia hanya menatap jengkel.

"Disana itu ... seperti apa?"

"Aku tidak bisa menjamin. Tapi, kalau kau hapal ayat-ayat Al-Qur'an dan ingat selalu sama Tuhan, kau pasti bisa kembali."

"Eh tunggu, tunggu, maksudnya ada kemungkinan aku nggak bakal balik?" Raut Galang sontak pucat.

"Bisa jadi." Aksa mengangguk sekilas.

"Kalau aku nggak balik, kau bakal nolongin aku kan Aksa?"

"Kalau sudah beda alam. Sesama makhluk Tuhan tidak boleh saling menganggu. Terus aku bakal baca surat yasin tiap malam, biar kau kepanasan."

"Kampret kau ya Aksa!"

Aksa tertawa pelan.

"Lagian suasana mencekam begini masih sempat-sempatnya bikin lelucon. Nggak lucu tau!"

Aksa hanya mengangkat bahunya. Masih ada sisa tawa di ujung bibirnya.

"Sampai kapan kita jalan? Bentar lagi bakal ujung koridor."

"Jalan saja."

Lagi-lagi Galang harus menahan kekesalan di hatinya. Tidak apa-apa, ini demi hidup damai dan menemukan Adik Tiri menyeb--- hampir terjerembab gara-gara sibuk berpikir. Galang menoleh ke belakang. Rasanya kakinya tadi menabrak sesuatu. Tapi begitu menengok, tidak ada apapun. Apa hanya perasaannya saja?

Angin malam tiba-tiba berhembus kencang. Galang hendak melanjutkan langkah namun terhenti diam. Di depannya sudah tidak ada lagi Aksa. Ia yakin, hanya beberapa detik ia menengok ke belakang. Dan Aksa menghilang. Menyisahkan dirinya seorang.

"Aksa." Teriak Galang memanggil.

"Aksa, ini tidak lucu!" Ia menoleh. Mengarahkan senternya ke arah manapun matanya melihat. Tetapi keberadaan Aksa tetap lenyap.

Deruh napas Galang mulai memberat. Adrenalinnya mulai memicu. Jantung berdegup-degub di dalam sana. Ujung lorong itu terasa lebih menakutkan jika dirinya sendirian begini. Ia meneguk ludah. Pilihannya hanya dua. Putar balik atau tetap lanjut.

Dan Galang meneruskan langkahnya berbekal intuisi dan nekat.

Baru beberapa langkah gemetar maju. Terdengar suara tangisan bayi. Oh, ya ampun. Bayi siapa pula itu? Jerit Galang dalam hatinya.

Asalnya dari ruangan yang sebentar lagi akan ia lalui. Berpikir bahwa ada orang yang menaruh bayinya karena mungkin hamil duluan dan pacarnya tak ingin tanggung jawab. Kayaknya itu mirip dirinya. Ia berhenti di ruangan itu, tangisan bayi itu makin keras terdengar. Senternya mengarah pada papan nama untuk mengecek nama kelas. Namun yang dijumpainya lebih horor dari itu.

Ruang NICU.

Galang menyenter ruangan di seberangnya berharap ini hanyalah halusinasi matanya saja.

Dan ia menemui Ruang Bersalin. Darah terkuras di wajah Galang. Cahaya senternya mulai tak terarah. Terombang-ambing karena gemetar. Kaki Galang sontak berlari. Tangannya mengepal erat berharap bisa meredam takutnya. Tangisan bayi itu makin keras terdengar seolah di dekat telinganya. Ia memutar arah balik. Beberapa ruangan ia lewati, yang makin memperparah ketakutannya. Ruang Bedah, Ruang administrasi, Bangsal, UGD dan Rawat jalan. Akhirnya ia sampai di pintu depan. Sialnya tergembok. Persis sama seperti mimpinya waktu itu. Kaca yang ia pukulpun retaknya masih sama.

Tunggu, jika ini sama... berarti Jeni disini.

Galang menengok ke  belakang. Mungkinkah ini yang di bilang Aksa tadi?

Rasanya meneguk ludah tidak pernah sesulit ini. Galang mengumpulkan tekat, merapal doa dan membiarkan pikirannya sibuk. Dengan tangan yang sudah mendingin, ia melangkah masuk lagi untuk mencari Jeni. Aroma busuk begitu menyengat seolah-oleh salam pembuka penghuni disini. Beberapa kali bayangan dan angin dingin melalui tubuhnya. Belum lagi suara ketukan di balik dinding-dinding setiap ia berjalan. Ia bingung harus mencari Jeni dimana. Tapi takut untuk membuka setiap pintu-pintu ruangan itu. Tubuh Galang mendadak berhenti kelang dua pintu dari tempatnya berdiri tiba-tiba terayun terbuka. Pikiran negatif yang bermunculan menambahkan kekalutan.

Tepat saat lambaian ujung kain putih terlihat, ada yang memanggilnya dari ujung tangga. Kepalanya reflek bergerak ke arah si pemanggil dan melupakan sosok dibalik pintu.

Seorang gadis berseragam SMA miliknya. Dengan rupa terakhir kali ia melihatnya. Dengan rindu yang masih sama. Dan tatapan yang tak berubah.

"Luna." Lirih Galang.

Sayangnya Luna tak berniat untuk melepas rindu seperti apa yang di pendam Galang. Ia mengkode Galang dengan matanya untuk mengekorinya. Tentu saja Galang bergegas mengikuti Luna. Namun begitu sampai di lantai dua, Galang tak mendapati siapapun. Kepalanya menoleh kesana-kemari. Lalu menemukan bayangan tubuh Luna memasuki ruang terujung. Galang langsung mengejar. Sampai di pintu yang terbuka sedikit dimana dimasuki Luna. Ia tak mendapati Luna. Justru Jeni yang telungkup di lantai. Matanya tertutup. Galang masuk dan memeriksa Jeni. Ia bernapas lega Jeni masih hidup walau tidak dalam kondisi sadar. Matanya mengelilingi ruangan kosong itu. Jejak Luna tak ditemukannya. Galang memejamkan mata dan bergerak cepat memapah Jeni.

Saat keluar, lorong yang tadinya gelap kini terang benderang. Ia melihat papan nama di ruang seberang. Kelas XI. Mipa 5. Galang sontak memutar kepalanya ke belakang dan mendapati bukan ruang gelap dan kosong disana, melainkan deretan meja dan kursi. Ruang kelas. Ia kembali ke sekolah. Ketakutannya sedikit berkurang.

Galang menghela napas lega. Tanpa sadar mengusap pucuk kepala Jeni. Kemudian mulai melangkah. Rasanya belum lama ia berjalan dan harus berhenti lagi karena seseorang. Benar-benar manusia bukan hantu berbaju panjang dengan rambut bonding lurus sampai ke lantai atau pun hantu yang diikat mirip kue lumpia pakai kain putih.

Akhirnya setelah hanya mendengar tuturan mimpi dari Jeni. Ia melihatnya. Pria bertopeng badut dengan kapak yang masih bersih di genggamannya.

***
Vote dan komen 😉
26 Agustus 2020

Diantara kejaran tagihan Proposal Skripsi, Dreame, Hidden, cerita baru dan cerita lama.

Me :  😨 🔫🚑

Bantu baca juga dong di fizzo kalau yg ada aplikasi fizzo, baca dan komentar ceritaku di sana Black Sugar. Saling review juga nggak apa2, nanti aku komen balik cerita kalian di sana setelah baca dan komentar cerita aku.

Oh iya cerita ini sudah bisa dibaca di KBM atau karya kasra, disana sudah sampai tamat dan ada extra part-nya. seperti biasa ya, aku bakal update di sini sampai tamat aja :)

HIDDEN [Dark Series IV] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang