XXVII. Hari Hilangnya Luna

1.8K 285 25
                                    

Jeny membuka mata. Di jumpainya papan tulis. Dahinya mengernyit. Ia menoleh ke sekitar. Susunan bangku-bangku dan deretan meja sekolah. Dan dia duduk sendirian di salah satunya. Tunggu, bukannya tadi malam dan ia sedang rebahan di kasur? Apa ini mimpi lagi? Oh, sial!

Ia melirik ke jendela. Langit ditumpahi mendung gelap namun masih ada cahaya untuk melihat. Angin bertiup kencang sesekali menghentak daun jendela. Hujan lebat meraung-raung di luar sana. Kemudian menatap ponsel yang berkedip di atas meja. Dilihatnya. Ada pesan dari Galang.

Galang : Tunggu disana, nanti ku jemput. Aku lagi mengisi bensin.

Galang terlihat sedang mengetik. Lalu muncul satu pesan baru.

Galang : Disana ada siapa?

Jeny melihat sekeliling. Kemudian ke ponselnya. Jarinya otomatis mengetik meskipun ia tidak memerintahkannya. Ini pasti Luna.

Tidak ada siapapun.

Galang : Sayang, kamu nunggu dimana?

Dahi Jeny mengernyit jijik. Tapi, tangan Luna tetap mengetik.

Di kelas.

Galang : Tunggu di hall sekolah saja.

Iya.

Galang : Aku sudah ngisi bensin. Sekarang mau kesana.

Hati-hati.

Galang : Iya, kamu hati-hati juga disana, sayang.

Sumpah, saat ini Jeny ingin muntah. Keinginannya tentu tak terlaksana. Karena ini tubuh Luna. Dan si empunya sedang berjalan keluar kelas. Ditemani guyuran air hujan yang berisik mengenai genting sekolah.

Sekolah sangat sepi. Nyaris tidak ada lagi kegiatan disini. Tidak ada anak-anak ekstrakurikuler. Sepertinya mereka semua sudah pada pulang. Wajar sih, ini sudah pukul lima sore. Lampu belum dihidupkan jadi penerangan satu-satunya dari langit walaupun tidak seterang matahari, ia masih bisa melihat jalan. Angin berderu-deruh melewati tubuhnya menimbulkan gigil dingil. Terasa sangat nyata sekali, Luna yang mengalaminya, ia juga merasakannya seperti hidup dalam tubuh yang sama.

Saat asyik memandangi ponselnya, melihat bagaimana Galang dan Luna berbalas pesan. Dia merasakan ada yang mengikutinya. Untuk memastikannya, ia berjalan pelan. Pikirannya memusat. Terdengar suara langkah kaki dibelakang. Kakinya berhenti. Tapi, suara langkah kaki itu tetap berjalan. Sontak kepalanya menoleh.

Dan ia bernapas lega ketika melihat Lisa berjalan menunduk melaluinya. Gadis itu berjalan cepat-cepat seperti dikejar sesuatu. Namun, pandangannya terus tertunduk. Kasihan. Ini gara-gara Marta membullynya. Dia kehilangan rasa percaya diri dan takut pada namanya sosial. Hal biasa yang sering dijumpai anak insecure. Benar sih, jika ada pepatah sekolah adalah neraka beberapa yang lain.

Jeny menatap langkah didepannya lagi. Ternyata masih ada orang. Semoga masih ada orang lain lagi walau tidak terlihat dari luar sini. Ia melanjutkan langkah. Sampai didepan gerbang, ia dibuat kaget. Gerbangnya tergembok. Pos Satpam yang berjaga di depan kosong. Dimana Satpam yang biasa berjaga?

Luna mengguncang gerbang yang hanya berhasil sia-sia. Membentur-benturkan gembok besar itu ke besi pagar seraya berseru berharap diluar sana ada yang mendengarnya. Tapi nihil. Matanya mendongak, gerbang itu sangat tinggi mustahil dinaiki dengan ia mengenakan rok begini. Ditambah lagi ujungnya yang runcing. Pikirannya mencari alternatif lain.

Oh ya, Galang!

Galang, gerbang sudah dikunci. Aku terjebak di dalam. Pak Satpamnya tidak ada.

Ceklis dua. Namun, belum terbaca. Semenit. Dua menit. Jeny melihat Luna mengetik lagi.

HIDDEN [Dark Series IV] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang