Jeny melompat-lompat beberapa kali sambil mengangkat tinggi-tinggi tangannya untuk menggapai buku yang ada di rak paling tinggi. Tapi usahanya tak juga membuahkan hasil. Tak kehilangan akal, Jeny mencoba cara lain. Ia menoleh ke belakang. Melihat situasi sekitar dibelakang. Aman. Tidak ada orang dan penjaga perpus. Jadi, ia menaikkan satu kakinya ke rak, dan memanjat rak yang lain untuk mencapai buku itu. Tangannya berusaha menggapai-gapai tapi masih sedikit lagi. Tepat saat dia hendak memanjat rak lagi, ada tangan lain mengambil buku yang diincarnya dari tadi. Ia bisa merasakan sosok itu berada di belakang tubuhnya. Aroma parfum laki-laki tercium samar.
Wajah Jeny langsung pucat. Ia belum siap dimarahi dan dipermalukan di depan orang banyak. Ia pikir itu penjaga perpus. Namun, saat ia menengok dari belakang. Wajah pria asing dengan seragam SMA yang sama dan angkatan yang lebih tinggi darinya. Kelas XII. Ia diam. Ia tidak tau harus berbuat apa. Bahkan saat kedua mata mereka bertemu. Laki-laki itu mengukir senyum dan menyerahkan buku itu didekat Jeny yang menempel seperti cicak di rak. Lalu sosok itu berbalik menjauh. Jeny segera turun. Mengambil buku itu dan mengejar laki-laki tadi.
"Hei!" Serunya. Dan langsung mendapat teguran dan pelototan siswa-siswi yang sedang fokus membaca disana. Ia membuat gestur maaf dengan tubuhnya. Dan beruntungnya laki-laki tadi menoleh menatapnya dengan senyum geli diujung bibirnya. Jeny berjalan mendekat.
"Terima kasih Kak Aksa." Ujar Jeny lagi.
"Sama-sama. " Aksa menaikkan alisnya, "darimana kau tau namaku?"
"Itu ... name tag." Kode Jeny dengan matanya.
"Oh, hahaha iya. By the way, jangan panggil aku kakak. Cukup panggil Aksa saja."
"Nggak bisa, Kak. Rasanya tidak sopan." Jeny menunduk kikuk. Ia belum terbiasa. Apalagi mudah akrab dengan orang baru bukan keahliannya. Suasana agak canggung. Sampai atensinya berhenti pada jejeran komputer di sampingnya. Keningnya sedikit berkerut melihat beberapa nomor komputer tidak ada di tempatnya. Komputer nomor 3, 13, 29, dan 41. Dimana komputer itu?
"Komputer yang nomornya tidak ada, di letakkan di gudang. Mereka rusak. Dan sekolah belum menyetok komputer baru untuk melengkapi jumlah satu kelas." Seolah tau kebingungan Jeny, Aksa menjawabnya. Jeny ber-o-ria pelan. Namun, beberapa detik kemudian sebuah pemahaman mampir dalam benaknya.
Komputer 13 rusak?
"Itu benar rusak?" Jeny sekali lagi memastikan. Karena bisa saja ada komputer 13 lainnya.
Aksa mengangguk, "Iya, rusak. Dan belum ada penggantinya."
Seketika wajahnya memucat. Lalu, yang selama ini meminta tolong padanya, siapa? Bagaimana dia menghidupkan komputer yang rusak? Alamat komputer itu aktif pun disini. Tapi, komputer itu di gudang dalam keadaan rusak. Alirannya darah di pipinya membeku. Tangannya menjadi dingin. Siapa Luna? Mungkinkah tebakannya selama ini salah?
"Kenapa?" Tanya Aksa merasakan kebungkaman Jeny.
Mata Jeny kembali naik yang semula gemetar memandangi lantai. Ia mendapatkan Aksa heran menatapnya.
"Tidak ada, cuma... agak... " Jeny ragu mengutarakannya. Belum tentu, orang mengerti. Bisa saja orang-orang menganggapnya tengah membual, paling parah Aksa menganggapnya tengah mencari perhatian. Akhirnya Jeny menghela napas, ia menggeleng, "tidak ada."
Aksa mengangguk-angguk lagi, "Baiklah jika tidak ada. Aku pergi." Ia berjalan namun ketika di samping Jeny. Aksa berhenti. Ia berkata sangat pelan hanya dapat didengar dirinya seorang, "tapi terkadang salah satu komputer itu dapat hidup sendiri meski rusak ataupun tidak tersambung listrik. Dan beberapa orang mendapatkan pesan dari anonim. Tapi, ketika mereka mencari tau... tidak ada siapapun." Ia menepuk bahu Jeny sambil tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIDDEN [Dark Series IV] [End]
Mystery / ThrillerJeny pikir hidupnya sekarang akan berubah. Dengan memiliki Ayah dan juga kakak baru. Rumah yang megah dan keinginan yang selalu terpenuhi. Hidupnya benar-benar seperti seorang putri di rumah besar itu. Tapi ada sesuatu yang janggal disana. Ada sesua...