VIII. Lihat diatasmu!

3.2K 356 59
                                    

Matanya mengedar ke sekeliling. Pekat, hitam dan gelap. Tak ada cahaya. Terlalu gelap untuk berjalan. Namun, sungguh menakutkan jika hanya berdiam diri. Ia menyeret langkah kakinya ke depan. Dalam balutan gelap gulita. Meraba dalam ketidaktahuan. Tangannya merasakan dinding di sampingnya seraya terus berjalan. Tanpa sengaja, kulitnya mengenai bulatan keras. Dingin dan menempel di dinding. Ia meraba dan memutar. Dinding terkuak, ternyata itu sebuah pintu. Ia membuka lebih lebar. Cahaya terlihat dari sinar rembulan yang menerobos jendela buram di seberang ranjang. Ia semakin masuk ke dalam ruangan kamar. Hanya ada satu ranjang kecil, sebuah meja, dan sisanya kosong. Kakinya bergerak mendekati jendela. Ia harus keluar dari tempat ini. Menemukan pintu keluar terlalu membuang waktu, belum lagi jika ia tidak ketemu dan tersesat dalam kegelapan diluar sana sangat beresiko.

Ia memutuskan langkah itulah yang akan ia ambil. Keluar dari jendela. Entah ini dilantai berapa, yang penting keluar. Urusan tinggi atau tidaknya, belakangan. Ia menuju ke arah sana. Dipertengahan jalan ia berhenti. Ada sesuatu yang jatuh mengenai bahunya. Menitik berirama. Ia mengusap bahunya. Membersihkan cairan yang masih jatuh disana. Jemarinya terasa lengket. Ia mendekatkan ke hidung. Membauinya dan segera menjauhkan jarinya sejauh mungkin. Bau busuk dan amis. Seperti darah bercampur nanah. Lalu didiamkan di udara terbuka selama berminggu-minggu.

Ia hampir muntah. Aroma tidak sedap itu belum hilang. Makin pekat terasa. Tiba-tiba, ia terdiam. Tercenung dalam pikirannya. Jika itu darah, lalu di atasnya?

Kepalanya perlahan mendongak. Melihat sepasang kaki pucat penuh luka menjuntai di atas kepalanya. Terayun bersama tali yang membelit leher sosok wanita bersurai panjang yang wajahnya tertutupi rambut. Seakan terpaku, tak bisa bergerak. Lidah kelu tak dapat berucap. Matanya terus memandang sosok itu. Melihat darah mengalir dari sela-sela luka di kakinya lalu jatuh ke dirinya. Ia tersadar, cairan itu yang mengenainya sedari tadi dan bertambah takut lagi, sosok yang ia pikir mati. Mengintip dirinya, dari sela-sela rambut dengan bola mata yang mengerikan. Bola mata putih keseluruhan. Ia cepet-cepet mengalihkan tatapan ke arah lain.

Ia membeku. Kala tangan dengan kuku jari panjang yang meruncing nan hitam, bergerak ke arahnya. Seolah ingin menggapai. Ia mundur ketakutan. Wajah menahan tangis karena kakinya masih sulit digerakkan. Menjauhi sosok itu yang setia membidiknya dengan tatapan menakutkan. Sekejab kemudian menghilang. Menyisahkan tali yang terayun dialang-alang. Ia meneguk ludah. Mengedarkan pandangan, kemana dia? Kakinya berhenti melangkah mundur. Merasakan ada sosok yang berdiri di belakangnya. Jantungnya berdegub sangat kencang. Memukul dadanya hingga sesak. Deruh napasnya berkejaran. Dan napasnya terhenti kala jemari hitam merayap di lehernya. Menekan rahang dan berbisik serak nan kering di telinga.

"Tatap mataku."

Jantungnya bagai lepas. Melihat dari sudut mata, kepala sosok itu sejajar dengan kepalanya. Kepalanya diputar menghadap wajah sosok itu. Dan sebelum, matanya menangkap kedua mata mengerikan itu. Ia merasakan rohnya seakan ditarik dengan paksa. Menghitam. Berputar. Lalu di masukkan dan matanya terbuka. Menjelit ke atas atap. Dengan suara tarikan napasnya yang keras. Matanya melirik ke sekitar. Meneliti segala arah. Ia berada di kamarnya. Dengan ibunya yang memberi sorot cemas.

"Kamu nggak apa-apa, Sayang?" Tangan ibunya mengusap peluh yang membanjiri dahi Jeny.

"Habis mimpi buruk?" Tanya ibunya lagi.

Jeny mengangguk. Perlahan bangkit duduk. Masih menormalkan deruh napasnya. Ia seperti habis melakukan perlombaan lari maraton. Ditambah peluh yang membasahi piyama tidur dan sekeliling leher. Tenggorokannya kering.

HIDDEN [Dark Series IV] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang