XXI. Test Pack

1.9K 253 46
                                    

Jeny memberi salam begitu membuka pintu. Melepas sepatu, entahlah kebiasaan ini tidak bisa hilang walau kata Pak Tomi itu tidak perlu. Bahkan Galang sempat mengejeknya. Yah terserahlah, hidup-hidupnya kenapa orang lain repot. Meletakkan sepatu di rak di samping pintu masuk. Karena kebiasaannya ini, jadi Pak Tomi menyediakan rak didekat pintu walau hanya koleksi sepatu sneaker saja disana. Dan berjalan ke dapur. Aroma masakan tercium menyengat. Sangat enak. Dan harum. Pasti ibunya. Dan benar saja, ibunya sedang memasak makanan kesukaannya. Rawon ayam.

"Sudah pulang?"

"Hm." Jeny mengangguk dan mencicip makanan ibunya dengan tangan yang langsung mendapat tepukan keras.

"Jorok Jeny! Nggak boleh, cuci tangan dulu baru cicipi atau bisa kan pakai sendok?"

"Malas."

"Kita di rumah ayahmu. Dan kebiasaan jelekmu nggak boleh dibawah sampai kemari."

"Ya ya ya." Mengalah. Ia berbalik hendak ke kamar.

"Mana kakakmu?"

"Aku tidak punya Kakak."

"Kakakmu Galang." Ujar Ibunya memperjelas. Jeny langsung memutar mata.

"Nggak tau, aku nggak pulang dengannya. Diculik tante-tante, mungkin."

"Jen." Tegur Ibunya.

"Aku ke kamar." Jeny segera melarikan diri dari ceramahan panjang.

Ibunya hanya bisa menghela napas.

Saat menuju kamar, ia melihat pintu kamar Galang yang biasanya terkunci rapat terbuka sedikit. Sudah pulang orangnya? Kok nggak ada teriakan memanggil namanya penuh amarah ya? Penasaran, Jeny melongokkan kepala.

Tidak ada orang. Tapi, ada suara air dari kamar mandi. Mungkin dia mandi. Jeny bermaksud untuk membuat kejailan lainnya. Ia masuk pelan-pelan. Berdiri di depan cermin, mengeluarkan lipstik lagi. Menulis kata-kata. Tukang cabul. Mesum. Gil

Tuk ...

Jatuh. Lipstik itu menggelinding masuk ke bawah ranjang. Jeny memasukkan tangannya. Meraba-raba dan mendapatkan sesuatu. Bukan lipstick. Tapi, test pack kehamilan. Berdebu. Bergaris dua. Itu berarti ini pernah digunakan. Dan orang itu hamil. Dan satu nama yang melintasi otaknya. Luna.

Terdengar suara pintu. Jeny menoleh. Dan mendapati Galang yang terkejut dan sontak merubah wajahnya menjadi marah. Lalu berubah membatu melihat benda yang dipegang Jeny.

"Letakkan."

"Tidak mau! Aku akan memberikan ini kepada polisi sebagai barang bukti!"

"Jangan main-main Jeny. Dari pagi tadi kau sudah memancing amarahku, jangan sampai aku melakukan sesuatu. Letakkan barang itu dan pergi dari kamarku."

"Tidak! Aku tidak main-main. Sekarang aku mengerti. Kau tidak ingin pembunuhanmu terbongkar, kan? Sekarang, kalau kau di penjara maka arwah Luna akan tenang dan aku tidak di hantuinya lagi."

"Aku tidak mengerti apapun yang kau katakan. Aku hanya ingin kau pergi, dan semua kejahilanmu aku anggap tidak ada. Sekarang pergi. Dan tinggalkan barang itu."

"Kau munafik ya Galang? Atau sebenarnya mengidap gangguan mental?"

Galang meletakkan tasnya sembarangan. Ia menyugar rambutnya ke belakang dan membuang napas kasar.

"Kau hobbi sekali mengajakku bertengkar?"

"Kau berpura-pura sedih dan nelangsa karena kehilangan Luna. Padahal kau tau Luna berada dan menyembunyikan di suatu tempat hingga orang tak tau. Berakting kau paling menderita. Kau tidak mau bertanggung jawab karena Luna hamil dan memilih membunuhnya. Untuk menghilangkan jejak mu, kau menyembunyikan Luna. Dan mengutus seseorang untuk memalsukan data supaya Luna terlihat pindah sekolah yang jauh. Padahal sebenarnya dia sudah meninggal. Aku benar kan?"

HIDDEN [Dark Series IV] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang