IX. Ambigu

2.4K 314 22
                                    

Galang memarkirkan mobilnya dengan sempurna di parkiran sekolah. Setelah bunyi mesin mati, Jeny membuka pintu dan langsung berjalan meninggalkan Galang yang baru mengunci mobil. Tanpa ucapan terimah kasih atau sekedar senyuman. Pria itu menyampirkan tas disalah satu bahunya seraya menatap punggung Jeny yang menjauh. Matanya terfokus melihat benda yang terselip diantara uraian rambut hitam wanita itu.

"Terasa familiar. Tapi, mungkin hanya perasaanku saja." Dilanjutkan dengan helaan nafas. Lalu Galang pergi menuju kelasnya.

Di tempat yang berbeda. Jeny melangkah santai ke arah kelas. Di pertengahan jalan dari arah seberang, Marta, Hani dan Lala. Berjalan dengan dagu terangkat tinggi. Sorot mata penuh kebencian dan balas dendam. Jeny mengangkat satu alisnya menangkap keberadaan mereka dari kejauhan. Ia bersedekap menunggu dengan ketenangan yang tak terusik sedikitpun. Wajah datarnya tak tergoyahkan.

Ketika jarak mereka hanya tinggal selangkah. Marta tiba-tiba berhenti melangkah. Bukan menghadang. Melainkan terpaku syok pada jepit rambut yang dikenakan Jeny. Matanya membelalak kosong. Ia menyembunyikan tangannya yang gemetar hebat dibalik punggung. Aliran napasnya menjadi tidak beraturan. Ia menyentuh baju didekat jantungnya yang berdetak dua kali lebih cepat. Disaat Hani dan Lala menunggu Marta untuk melancarkan aksi balas dendam mereka. Marta justru membiarkan Jeny melewati mereka dan menundukkan kepala sedalam-dalamnya. Tak berani menatap lebih lama. Keangkuhan dan sombongnya lenyap. Berganti sesuatu yang menakutkan tergambar di iris matanya.

"Marta, kenapa kau membiarkannya?" Tanya Lala yang tidak habis pikir dengan Marta. Wajahnya sungguh sebal. Hari yang ditunggunya untuk membalaskan dendam akibat siraman air cabai yang diraciknya sendiri malah menghilang seperti angin yang lewat. Dikepalanya sudah banyak rencana untuk menyiksa Jeny lebih dari kesakitan yang dirasakannya kemarin. Namun, reaksi bungkam Marta membuat ia sangat kesal.

"Bukankah rencananya kita mau memberinya pelajaran lagi?" Hani ikut menyuarakan keheranannya.

Bukannya menjawab, Marta justru jatuh terduduk di lantai semen koridor. Pandangannya nanar. Tatapannya tak fokus. Sesekali kepalanya menggeleng. Kedua tangannya menutupi telinga. Seakan ada kebisingan yang memekakkan telinga.

"Hei, Marta, kau kenapa?" Lala menyentuh bahu Marta yang gemetar.

"Dia nampak pucat, Lala. Perasaan tadi baik-baik saja." Komentar Nana karena Marta bungkam.

Suara kedua temannya tak ia hiraukan. Karena kepalanya sudah terisi penuh oleh kilasan masa lalu dan jeritan seseorang. Ia menekan tangannya lebih kuat. Berharap jeritan yang memanggil namanya itu tidak terdengar. Tapi percuma, karena jeritan itu berasal dari kepalanya sendiri. Hatinya ikut menambah duga-duga yang hanya memperparah saja.

"Dia sudah mati. Dia sudah mati. Dia sudah mati." Racau Marta frustasi. Matanya memejam rapat-rapat. Ia begitu ketakutan entah karena apa.

"Marta, ayo bangkit. Orang-orang sedang menatap kita. Kau mirip orang stres tau."

Berbalik dengan Lala yang melihat sekelilingnya tidak suka. Hani justru ikut berjongkok disamping Marta. Ia memandang wajah Marta yang kalut.

"Kau kenapa, Marta?" Suara lembut dan penasaran Hani berhasil membuat Marta menatapnya balik.

"Dia sudah mati." Kata Marta ambigu. Berusaha membuat Hana mengerti.

"Siapa yang mati?" Hana justru makin bingung.

"Dia pasti akan membunuhku." Marta memeluk dirinya sendiri. Orang-orang yang berjalan di koridor memberi pandangan skeptis dan heran melihat tingkah Marta.

HIDDEN [Dark Series IV] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang