XXXVII. The Battle

1.4K 231 30
                                    

Galang merasakan napasnya tercekik. Susah payah ia menarik napas hanya untuk di hempaskan lagi ke lantai. Sedari tadi tulangnya sudah berteriak ngilu mungkin ini sudah remuk. Ia meludah mengeluarkan gumpalan darah yang menyanggal mulut. Lalu segera berdiri menguatkan diri. Menatap sosok di depan sana dengan sorot benci dan darah yang mengalir dari pelipisnya. Bahunya robek terkena ujung kapak. Namun ia tidak menyerah tetap mengambil patahan kayu dari kaki kursi dan mengacungkannya sebagai pertahanan diri.

Sosok di depannya tertawa-tawa, dan makin senang melihat Galang menjerit ketika kapaknya mengenai betis Galang. Ia melihat pemuda itu mengatupkan bibirnya. Mencengkeram betisnya yang mengeluarkan darah. Dengan urat-urat di rahang. Ia pikir pemuda itu akan menangis atau membebat lukanya seperti tadi, tapi yang tidak disangkanya Galang maju dengan membabi buta memukulkan kaki kursi itu ke arahnya. Galang berhasil menghindar ketika kapak terayun. Nampaknya ia belajar cepat dari pengalaman. Membaca gerak lawan. Mencari celah. Ia mengincar kaki pria bertopeng itu. Dan pria itu memakan umpannya. Saat pria itu akan melindungi kakinya, Galang justru berbalik ke arah kepala. Tak mengijinkan memberi detik, ia menyerangnya lagi-lagi-lagi. Membuat ujung kayu itu berdarah. Kemudian menjauh saat pria itu mengayunkan kapaknya lagi dan mengenai kayunya. Hingga patah jadi dua.

Dari sisi kepala hingga bahu, darah melumuri kulit pria itu. Galang tak menyangka ia bisa membabi buta seperti itu. Kesenangan raip dari mata yang menatap dingin. Pria bertopeng badut itu kembali maju menyerangnya dan berkali-kali mengelak dan melawan, Galang harus terlempar lagi karena kalah senjata. Tubuhnya berguling-guling di tangga. Dan berhenti mengenai dasar. Mengerang sakit. Ia membuka mata. Ia pikir pria itu akan mendekatinya untuk menghabisi. Tapi ternyata berbalik untuk mendekati Jeni yang ia letakkan duduk menyandar di dinding.

Galang berusaha bangkit, "Jangan! Jangan mendekatinya Sialan!"

"Jangan ganggu dia!" Teriaknya sekali lagi.

"Bunuh saja aku! Bukankah hanya aku yang kau benci? Jangan libatkan dia. Dia tidak ada sangkut pautnya dengan semua ini!"

Pria bertopeng itu tertawa mendengar nada keputusasaan yang Galang keluarkan,"Apa aku terlihat peduli? Bagiku siapa saja yang tau, harus mati." ia menyeringai senang, " Dan aku akan membunuh orang yang kau sayangi di depan matamu."

ia mengangkat kapaknya. Lalu akan mengayunkannya ke arah Jeni yang masih tak sadarkan diri.

Galang berteriak dibawah sana dan berusaha naik untuk mencegah hal buruk terjadi.Namun ia tau, sakit di sekujur tubuhnya menjadikan dirinya selalu jatuh lagi dan lebih lamban. Ia tau ini mustahil. Kapak itu akan menebas Jeni. Ia sudah menduganya meskipun begitu ia akan selalu berusaha. Dan tiba-tiba kapak itu terhenti di dekat wajah Jeni. Galang terkejut begitupun pria itu. Melihat tangan Jeni menahan ganggang kapak yang akan menebas lehernya. Masih dengan rambut terburai panjang menutupi wajahnya Jeni bangkit berdiri. Ia menendang tungkai kaki pria badut itu hingga mundur ke belakang. Melepaskan kapaknya yang ditahan Jeni. Jeni melemparkan kapak itu ke sembarang arah.

Galang langsung berseru lantang, " Jeni lari!"

Jeni masih bergeming.

"Lari bodoh! JENI LAR---" Galang tak sempat menyambung kalimatnya, ia sukses ternganga untuk kedua kalinya. Dan mungkin penjahat itu juga sama.

Saat angin deras datang menyibak rambut rambut Jeni. Membiarkan wajah pucat dan datar itu terlihat. Tatapan sedingin hujan dan sebeku es. Itu bukan Jeni.

"L-L-L Luna ..." Suara Galang tercekat tak percaya.

***

"Bagaimana bisa ..." Ujar Laki-laki bertopeng itu tak habis pikir.

Luna tak bersuara. Matanya bergulir dari pria bertopeng itu ke Galang yang masih kaget lalu berpusat ke tempat semula. Ia melangkah maju dan berhenti di jarak yang amat dekat.

"Mau membuktikan kalau ini mimpi?" Suara Luna masih seperti dulu. Dia nampak hidup dan nyata. "Kau tau ..." Nada suaranya mengalun lambat, " aku sudah lama ingin melakukan ini."

Sangat cepat bagai kilatan cahaya. Tak terlihat dan tau-tau pria bertopeng itu terlempar jauh hingga menabrak kaca dan masuk ke ruang di dalamnya. Luna menurunkan tangan kanannya. Ekspresinya tak beriak. Masih sama seperti tadi. Galang bahkan tidak melihat apapun, kepalanya menoleh saat mendengar dentuman keras dan terkejut pria penjahat itu sudah disana. Ia menatap Luna yang belum ingin menatapnya balik.

Laki-laki bertopeng itu keluar. Nampak darah di sekitar kepala dan lengannya. Kedua tangannya menahan rahang lalu mematahkannya ke posisi semula sampai bunyi berderak. Dan kemudian menyeringai.

"Lumayan. Kau belajar sangat cepat, Sayang. Mari kita ukur batas kemampuanmu."

Luna menatap acuh.

Laki-laki bertopeng itu berjalan cepat menuju Luna. Namun harus kembali berhenti.

Karena Galang menghadangnya. Pria itu berdiri susah payah dengan menghandalkan satu kaki sementara kakinya yang lain terkilir.

"Jangan. Ganggu. Dia. " Galang menekan kata-katanya seiring napasnya yang juga putus-putus. Kepayahan sudah jelas. Lelah sudah dari tadi. Apalagi sakit, sekarang ia malah merasakan mati rasa.

Pria bertopeng itu terkekeh, ia menggeleng dan menyorot tajam. "Semangatmu boleh juga. Tapi, kita sudahi sampai di sini." Tangan pria itu menghantam pipi Galang membuat tubuhnya terjerembab jatuh. Ia menendang-nendang badan Galang yang sudah tak berdaya hingga puas. Dan bergerak cepat ke arah Luna.

Mengambil kapaknya lagi dan mengayunkan ke arah Luna. Ia pikir kapaknya akan menebas tubuh Luna menjadi dua. Soalnya perempuan itu hanya diam di tempat. Tapi ternyata, Luna menghilang dari posisinya berdiri. Dan muncul secara tiba-tiba dari belakang laki-laki bertopeng itu. Menarik kepalanya ke belakang dengan kuat hingga membentur lantai. Pria itu memberontak namun tenaga Luna terlalu kuat. Tangan Luna mencengkeram rambut pria itu dan menabraknya berulang kali ke lantai sampai keramik dibawahnya retak. Luna menghempaskan kepala itu saat tak ada gerakan lagi. Seluruh tangannya dilumuri darah. Berikut genangan merah di keramik yang pecah. Laki-laki itu sudah tak sadarkan diri. Bagus jika seandainya dia mati.

Luna berdiri. Ia berbalik melihat Galang yang bangkit tegak seraya menahan perutnya dengan muka meringis.

"Luna." Panggil Galang mendekat. Ia berusaha menarik senyum haru di bibirnya yang lebam dan berdarah. Luna hanya diam. Matanya memandang Galang lama. Ada kesenduan disana. Ia menoleh ke samping. Cahaya fajar menyentuh langit. Kemudian Luna menatap Galang kembali. Laki-laki itu berusaha menggapainya. Dan berhenti ketika jarak mereka sangat dekat. Dimana ia mengamati Luna dari atas ke bawah dan ke atas lagi. Sangat nyata.

"Luna." Mata Galang berkaca-kaca. Ia berharap ini benar dan terus berlanjut.

Luna memilih memandang dalam kebisuan. Bibirnya menarik senyum sedih. Dan mendadak tubuhnya terjatuh tanpa sempat di cegah oleh Galang. Galang kaget, ia segera duduk. Memanggil nama Luna dan terdiam kala dibalik rambut itu wajah Jenilah yang ditemuinya. Ia menoleh ke sekeliling dengan harapan Luna disana. Tetapi angannya pupus. Tak sengaja matanya melirik ke arah pria bertopeng itu. Ia penasaran juga agak takut jika penjahat ini masih sadar. Ia menendang topeng dari wajah Si Penjahat. Dan bungkam. Wajah Galang mengeras dan tangannya mengepal. Bibirnya terkatup rapat.

Teringat pada Jeni, ia memapah gadis itu dan mereka keluar dari sekolah.

***

28 Agustus 2020
Vote dan komen 😉

Disaat ditagih proposal skripsi, baru buat halaman depan.

Wattpad : (~‾▿‾)~
Me : (;ŏ﹏ŏ)


Oh iya cerita ini sudah bisa dibaca di karya kasra, disana sudah sampai tamat dan ada extra part-nya. seperti biasa ya, aku bakal update di sini sampai tamat aja :)

HIDDEN [Dark Series IV] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang