XVIII. Pertukaran Dua Raga

2.9K 322 44
                                    

Malam hari. Galang memeriksa handphonenya. Ia membuka folder. Dan menemukan gambar-gambar dan rekaman suara yang dikirim Jeny saat penculikan itu. Isi pesannya tidak ada tapi gambar-gambar itu ada. Galang membukanya. Meneliti dengan benar. Ya, itu gambar yang dikirim Jeny tadi! Tapi, kenapa isi pesan itu seakan tak pernah ada? Seperti ilusi yang tak nyata?

Dan Galang memandang lama pada tanggal yang tertera disana. Tanggal itu bukan menunjukkan hari ini. Tapi, satu tahun yang lalu. Apa hpnya sedang eror? Diperiksanya, bukan hanya satu. Tapi ke semua gambar dan rekaman itu menunjukkan hari yang sama. Satu tahun yang lalu. Menatap tanggal itu, Galang teringat sesuatu.

Tanggal itu, tepat sehari setelah Luna pergi tanpa kabar.

***

Jeny didepan cermin. Sedang menyisir rambut panjangnya. Seharusnya ia potong pendek saja, sehingga tidak menyengsarakannya seperti ini. Tapi ini semua karena ibunya. Ibunya menyukai rambut panjang dan ia kebalikan.

Dan inilah akibatnya ketika menyuruh seseorang yang tidak pedulian pada tubuh. Sisirnya tersangkut diantara rambut kusut ini. Ia mengingat-ingat kapan terakhir memakai sampho. Oh, tiga minggu kemarin sepertinya. Jeny menarik napas. Lalu mengerahkan sekuat tenaga untuk menarik benda sialan ini dari rambutnya.

Berhasil. Bersama buntalan kusut rambut yang tersangkut disisir dan kulit kepala yang terasa hampir lepas.

Ia meletakkan sisir itu di meja rias. Dan menatap dirinya sendiri di cermin.

"Aku harus bernegosiasi dengan ibu sebelum kepalaku botak." Ia mengelus-elus sisi kepalanya yang sakit.

Sebuah bayangan hitam berkelebat tertangkap di pantulan cermin. Jeny cepat menoleh. Matanya mengedar dan tak mendapat apa-apa. Ia menatap cermin kembali dan menghela napas gusar.

"Seharusnya aku tidak menyetujui usulan ibu menikah." Jeny memejamkan mata, "lama-lama aku bisa gila di sini."

Ia membuka mata. Dan bertemu matanya sendiri di cermin. Ia menyugar rambut agar cepat kering. Lalu menunduk membenarkan sendal tidurnya. Tapi, gerakannya terhenti. Jeny membeku. Tangannya diatas meja sangat kaku dan dingin hingga menjalar ke belakang lehernya.

Matanya masih menunduk ke bawah. Tapi, ia bisa melihat pantulan sebagian dirinya di cermin. Kesadaran di titik penuh. Perasaannya begitu peka. Hingga ia menyadari kejanggalan yang baru saja terjadi dan sedang berlanjut. Dirinya, di cermin itu. Hanya diam. Tidak melakukan aktivitas yang dilakukannya tadi sejak bayangan hitam itu lewat. Dan satu lagi, tangannya hanya satu bersandar di meja bukan dua!

Memberanikan diri, Jeny mendongak. Mungkin ini hanya halusinasi. Dan pikirannya sendiri. Ia harus mengecek ini.

Saat mata bertemu mata. Ia tidak menghentikan teriakan-teriakan di kepalanya untuk segera pergi dari sini. Dan rasa dingin yang makin menusuk. Dan ia sadar, itu bukan dirinya saat sosok disana menggunakan tubuhnya tersenyum lebar.

Jeny membelalakkan mata. Ia hendak pergi. Tapi, lampu di sekitarnya langsung mati.

.

.

.

Galang terbangun. Ia menatap jam dinding. Pukul tiga pagi. Ia bangkit duduk. Dan mengusap wajah. Mimpi tadi ... Ia memimpikan Luna. Salah satu momen yang tak pernah di lupakannya. Ia memejamkan mata. Dan terbayang, wajah Luna yang terbaring di kasur. Bersama dirinya dibawah selimut. Ia mengusap wajahnya sekali lagi dengan frustasi. Rindu itu begitu menyakitkan. Ia tak berdaya di buatnya. Lalu membuka mata. Ia tidak bisa lagi tidur. Galang berdiri. Mengambil handuk dan ke kamar mandi.

Galang keluar. Dengan pikiran sudah segar berikut tubuhnya. Ia menggosok-gosokkan handuk ke rambutnya yang basah. Gerakannya melambat begitu melihat sosok yang tak seharusnya disini. Matanya memicing sebal.

Ia melempar handuk ke kasur. Berharap bunyi itu membuat sosok yang dari tadi berdiri menatap jendela menoleh ke arahnya yang sedang marah. Namun, sosok itu tak juga menoleh. Tetap diam entah mengamati apa di langit sana.

"Bukankah kita sudah buat kesepakatan, JENY?" Tekan Galang di akhir kata.

Tapi, Jeny tetap diam dalam posisinya.

"Hei, kau tuli atau pura-pura tidak mendengar?!" Galang terpancing kesal. Suaranya menggelegar di pagi buta.

"Jangan sampai aku melemparmu sungguhan ke luar jendela sana." ancamnya lagi.

"Keluar!"

"Jeny!"

Galang mengacak-acak rambutnya. Merapatkan bibir. Menahan gejolak emosi yang merangkak. Gadis ini benar-benar ingin membuatnya masuk ke rumah sakit jiwa! Sekali lagi, ia menatap. Dengan rahang mengeras.

"Jeny, selagi aku masih baik. Keluar dari sini cepat. Sebelum aku bertindak kasar." Galang mulai meninggikan suara dan mengucapkannya setiap kata satu persatu.

"Demi Tuhan, ini masih fajar! Apa tidak ada hal lain di otak kecilmu itu selain mengajak aku bertengkar?!" Teriak Galang emosi akhirnya.

Dan reaksi Jeny masih sama.

"Baik, kau yang membuat aku bertindak kasar. Jadi jangan salahkan aku!" Galang melangkah cepat. Mendekati Jeny berdiri. Tangan-tangannya ingin meremukkan tubuh itu atau mengganti otaknya dengan otak orang utan, agar sedikit pintar.

Ia menyentak tangan gadis itu hingga tertoleh ke arahnya. Tapi, ia diam begitu melihat air mata membanjiri wajah Jeny.

Kerapuhan Jeny, membuat Galang mengalihkan wajahnya ke arah lain. Ia memang tak pernah bisa melihat air mata seorang wanita. Ia menarik napas panjang.

Berbicara dengan nada pelan, "Aku akan melupakan apa yang kukatakan barusan. Jadi, keluarlah."

Namun, Jeny tetap bungkam. Masih setia dengan air matanya yang mengalir. Menatap wajah Galang.

Jengah. Galang menoleh, "Kau ini kenapa sih? Aku tidak menyakitimu. Masa gara-gara dibentak saja menangis? Ini juga salahmu."

Galang mengamati mata Jeny yang menatapnya lama. Baik, sepertinya itu bukan tangisan karena takut. Tapi, lebih ke ...

"Galang ..." Suara Jeny untuk pertama kalinya.

Suara lirih dan serak. Tapi, nadanya berbeda dari biasanya.

"... Aku merindukanmu ..."

Galang mengerutkan alis. Kemudian terkekeh, "Jangan gila, Jeny. Dan lepaskan jepit rambut itu. Aku tidak lupa saat kau mengatakannya benda sampah dan sekarang kau memakainya. Letakkan. Dan keluar."

"Maaf..."

"Dimaafkan." Galang mengangguk sekenanya. Tangannya mempersilahkan Jeny ke arah pintu, tapi gadis itu tidak peka dan tetap menangis hingga menimbulkan suara lirih yang menyayat.

"Aku sedih..."

"Aku sedang tidak mood mendengarkan curhatanmu Jeny."

"Maaf sudah pergi tidak bilang-bilang. Aku sedih melihatmu seperti ini. Tapi, aku tidak bisa kembali. Aku hanya bisa melihatmu tanpa bisa menyentuh. Jangan seperti ini, Lang. Aku bertambah sedih."

"Jangan aneh-aneh, Jen. Jangan membuatku mengeluarkan tanduk. Kau tau, ini masih pagi. Dan pagiku tidak ingin dirusak olehmu. Jadi, tolong dengan sangat, pergi."

"Aku akan pergi. Saat waktuku habis. Ini hanya sebentar, aku diberi waktu oleh Jeny. Aku ingin mengucapkan kata-kata yang tak sempat ku ucapkan Lang. Kau tau, aku sangat merindukanmu. Aku tidak bisa menggapaimu. Sudah terlalu jauh."

***
5 Januari 2020

Tinggalkan jejak 😉

Apa yang kalian rasakan setelah baca part diatas?

Ada yang bisa tebak apa yang terjadi?

Dan untuk yang terkena banjir dan masalah lainnya, semoga diberikan ketabahan dan semoga Allah memberikan penggantinya dengan lebih baik. Aamiin.

Bantu baca juga dong di fizzo kalau yg ada aplikasi fizzo, baca dan komentar ceritaku di sana Black Sugar. Saling review juga nggak apa2, nanti aku komen balik cerita kalian di sana setelah baca dan komentar cerita aku.

Oh iya cerita ini sudah bisa dibaca di KBM atau karya kasra, disana sudah sampai tamat dan ada extra part-nya. seperti biasa ya, aku bakal update di sini sampai tamat aja :)

HIDDEN [Dark Series IV] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang