XIII. Benda yang Tertinggal

2.3K 316 33
                                    

Rasanya hari ini begitu tentram dan tenang. Ia senang sekali. Duduk di atas sofa mewah dan tv besar dengan cemilan kesukaannya. Bolu kukus, coklat hangat, dan popcorn. Ia merasa seperti orang kaya. Bukankah ayahnya memang kaya? Yah, tepatnya ayah tiri. Itupun tak mengurangi kegirangannya. Dan lupakan kakinya yang diperban. Walau tidak bisa kemana-mana masih ada pembantu yang bisa ia suruh. Ia tidak menyangka hidupnya akan semenyenangkan ini. Lupakan nama Galang. Untuk hari ini saja. Karena orangnya tidak berdaya di dalam kamar sana. Mungkin sedang berjuang untuk hidup. Ah, beberapa hari ke depan mungkin hidupnya akan kembali tenang. Tanpa suara berisik Galang dan wajahnya yang menyebalkan. Sering-seringlah sakit kalau gitu.

"Sedang nonton apa kamu, sayang?"

Jeni menoleh mendapati ibunya yang tengah bersiap-siap, nampak ingin pergi.

"Spongebob?" Lontar ibunya lagi melirik tayangan televisi lalu ke arah Jeny dengan kening berkerut. Di wajahnya seperti mempertanyakan, sebesar ini masih nonton Spongebob?

"Kenapa?" Jeny balik bertanya.

"Tidak apa-apa. Bagaimana kakimu?" Ibunya beralih memeriksa kakinya. Lalu mengatakan hal-hal terkait ganti perban, minum obat, dan segala macamnya.

"Sudah agak lebih baik. Tidak nyeri lagi." Jeni menatap ke layar kembali. Kemudian tertawa saat scane berganti ke arah Squidward yang menunjukkan raut wajah datar dan tidak ada semangat hidup.

"Kenapa kau tertawa? Perasaan tidak ada yang lucu." Komentar Ibunya bingung.

"Memang, aku terbayang seseorang saat melihat wajah Squidward. Dia mirip Galang, datar, cuek, dan merasa yang paling sengsara hahaha..."

"Tidak boleh seperti itu, dia kakakmu." Ibunya langsung menasihati dan Jeny memutar matanya bosan.

"Aku tidak sudih menganggapnya kakak."

"Jeni," tegur ibunya. "Pokoknya tidak boleh. Kau harus terbiasa memanggilnya Kakak. Kalian adalah saudara. Walau bukan kandung tapi seiring kebersamaan kita disini. Kalian akan terbiasa dan berdamai adalah cara yang tepat."

"Ibu akan pergi sebentar, ada urusan dengan teman. Kalau perlu apa-apa telpon ibu. Dan juga, jika Kakakmu kenapa-kenapa telpon ibu. Ibu akan segera pulang." Lina mencium kening Jeni lalu berlalu pergi.

Ditinggal sendiri, Jeni kembali melanjutkan tontonannya.

Ia melihat pembantu yang melewati tempatnya, "Bi, tolong air putih."

"Baik, Nona."

Jeni mengucapkan terima kasih saat diantarkan segelas air dan meneguk airnya. Matanya masih setia pada layar depan disana.

Sampai, dunianya mulai terusik ketika mendengar suara langkah kaki dari tangga besar diujung sana. Penghubung lantai dua dan dasar. Ia melirik dari ujung mata, dan wajahnya sontak tertekuk melihat Galang turun masih dengan piyama tidur dan wajah pucat. Rambutnya berantakan dan peluh-peluh membanjiri keningnya. Mata mereka bertemu. Dan Jeni langsung membuang muka. Tidak sudih bertatapan lama. Takut dosa Galang tertular ke arahnya.

Dan wajah Jeni berkali-kali lipat masam begitu Galang menuju ke arahnya.

"Pindah." Suara Galang serak dan kering. Tapi, tingkat menyebalkannya membuat kekesalan Jeni sampai ke ubun-ubun. Enaknya saja menyuruhnya pindah. Ia sudah nyaman di posisi ini. Memang sofa ini yang paling enak untuk menonton tv.

"Tidak mau. Kau saja yang pindah." Jeni mengirimkan isyarat kebencian dari tatapannya. Ia bersedekap tidak mau mengalah.

"Pindah." Galang menatap tajam. Suaranya kini lebih dalam.

Jeni berdecak. Kesal luar biasa. Mentang-mentang dirinya anak tiri disini bisa diperlakukan seenaknya. Dasar manusia kejam! Belum lagi kondisinya yang sakit, kan Jeni jadi ingin mengalah tapi tidak sudih.

HIDDEN [Dark Series IV] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang