Seketika matanya langsung terbuka. Hal pertama ia lihat atap putih bersama lampu gantung yang bercahaya terang. Deruh napasnya berkejaran. Ia memandangi sekeliling. Tidak ada danau, pohon ataupun Galang disini. Hanya ada tempat tidur, lemari dan meja. Ia masih ada di kamarnya. Berarti tadi hanya mimpi. Tetapi, kenapa mimpi itu begitu nyata dan seperti pernah terjadi?
Jeny bangkit duduk, ia menormalkan degub jantungnya yang berpacu cepat. Mengambil udara sebanyak-banyaknya. Lalu menghembuskan dengan pelan. Ia memandang jam, pukul empat pagi. Tidak ada rasa kantuk untuk dirinya tidur lagi. Lagipula, ia tidak ingin tidur, takut mimpi itu akan berlanjut. Percayalah, melihat Galang tersenyum itu lebih mengerikan daripada melihat wajah hantu. Akhirnya, ia memutuskan untuk menyiapkan peralatan Sekolah hari ini. Membayangi dirinya akan ke Sekolah barunya membuat Jeny menghela napas. Belum lagi harus satu sekolah dengan Galang. Entah kenapa, dia tidak suka dengan Galang. Sepertinya, laki-laki itu juga tidak menyukainya. Perasaannya mengatakan demikian.
Jeny memijakkan kakinya ke lantai. Mengambil tas dan menyusun buku disana. Setelah dirasanya cukup. Ia menyampirkan handuk ke bahunya untuk mandi. Sekaligus, menghapus jejak Galang dari kepalanya.
✍✍✍
Jeny mematut dirinya di cermin, merapikan seragam sekolahnya lalu mengikat rambutnya menjadi satu. Setelah merasa cukup, dia menyelempangkan tas kemudian bergerak keluar kamar. Menuruni tangga dan menuju ke ruang makan. Disana, ibunya menyajikan sarapan. Paman Tomy sedang membaca koran.
Jeny, menarik kursi dan mendudukinya. Lina menyadari kehadiran Jeny, ia menyodorkan sepiring nasi goreng dengan taburan sosis dan bawang goreng. Makanan favoritnya. Setelah mengucapkan terima kasih pada ibunya, ia mulai menyantap sarapannya.
Tak beberapa lama, Galang muncul seraya menuruni anak tangga. Pria itu tengah memasang jam tangannya pada pergelangan tangan kiri. Dengan rambut tertata rapi, baju tersetrika licin, dan tas yang disampirkan di bahu kanannya. Jeny mengakui bahwa Galang adalah sosok yang keren dibalut dengan ke misteriusan yang dingin. Kemudian, tanpa ucapan ataupun sapaan pria itu duduk di sebelah kursinya. Ibunya memberikan sepiring nasi goreng seperti miliknya. Galang menerimanya dengan menganggukkan kepala sebagai ucapan terima kasih. Tampak laki-laki itu menjauhkan sosis dan bawang goreng ke pinggiran piring.
Jeny mengerutkan dahi disamping ia mengunyah makanannya. Kenapa dia meminggirkannya? Apakah dia tidak suka? Dan tiba-tiba ujung mata pria itu bergerak meliriknya yang sedari tadi mengamati Galang. Jeny buru-buru melengoskan wajah dan menganggap tak terjadi apapun.
Bunyi gemerisik kertas, membuat Jeny menoleh. Paman Tomy sedang menaruh korannya di atas meja. Menyeruput kopinya lalu meletakannya kembali ke meja. Pria tua itu berkata, "Oh, iya. Galang, nanti kamu antar Jeny pergi ya. Kaliankan satu sekolah."
Jeny menerka Galang akan menolak hal itu. Di kepalanya sudah terencana, ia akan membuka aplikasi google maps atau memesan taksi online untuk sampai ke sekolah barunya. Namun jawaban dari Galang membuat Jeny mengerutkan alisnya.
"Iya." Galang menyahut singkat. Tanpa menghentikan suapannya. Pria itu tampak ogah-ogahan.
Seketika Jeny ingat mimpinya semalam, ia bergidik ngeri. Dan menggeser tempat duduknya menjauhi Galang. Terbayang laki-laki itu tersenyum menatapnya membuat bulu romanya berdiri. Mengerikan. Tapi, melihat pria itu dengan aura khas dinginnya, menyadarkan Jeny itu hanya mimpinya saja.
Galang menjauhkan piring dan mengelap bibirnya dengan tisu. Cepat sekali dia makan. Bahkan makanan Jeny saja baru habis setengah. Pria itu bangkit berdiri, lantas menghampiri ayahnya.
"Aku pergi, Yah." Galang menyalim tangan ayahnya begitu juga kepada ibunya.
Jeny memperhatikan gerak-gerik cowok itu dengan lirikan. Lalu menekuni makanannya lagi.
"Jeny, ayo cepat. Nanti kamu terlambat." Tegur ibunya.
Memasukan suapan terakhir dan meneguk susu coklatnya hingga tandas, Jeny berdiri. Berpamitan kepada Tomy dan ibunya. Ia menyusul Galang yang sudah menghidupkan mesin. Membuka pintu mobil lalu memasang sabuk pengaman. Mobil melaju meninggalkan pekarangan rumah besar yang ia tinggali.
Tak ada percakapan. Dan Jeny malas mengawali perbincangan. Ia memilih diam sembari memandangi jalanan pagi melalui kaca jendela mobil. Hingga sampailah mereka di depan gerbang sekolah barunya. Megah dan kokoh. Pagar besi tinggi menjulang terbuka. Mobil memasuki halaman sekolah. Jeny menatap di luar sana, beberapa siswa berjalan menuju pintu masuk. Bersama kelompok ataupun sendiri-sendiri. Mobil bergerak ke arah parkiran. Galang mematikan mesin. Ia mengambil tasnya lalu membuka pintu. Jeny mengikutinya.
Keluar dari parkiran, Galang dan dirinya melangkah ke arah aula. Tiba-tiba pria itu berhenti berjalan. Menengok ke belakang melihat Jeny yang juga menatapnya.
"Jangan mengikutiku." Ucapnya dingin bagai peringatan. Kemudian berlalu meninggalkan Jeny yang mendengus di tempatnya.
"Siapa juga mengikutimu? Aku hanya tidak tau jalan, bodoh!" Gerutu Jeny kesal. Namun tidak bisa didengar Galang, karena jarak mereka yang sudah jauh. Ia sudah menduga hal itu akan terjadi. Tetapi, menyadari dugaannya benar merasa sebal juga.
Jeny menatap kepergian Galang dengan sorot kebencian. Menahan amarah, Jeny menatap sekeliling. Ia melangkah ke arah koridor mencoba peruntungannya hari ini. Setidaknya ada banyak manusia disini untuk ditanyai tempat tujuannya dibanding manusia kulkas yang baru meninggalkannya tadi.
✍✍✍
"Perkenalkan nama saya Jeny. Kalian bisa memanggil saya Jen atau Jeny. Mohon bantuannya dan salam kenal." Ucapnya di depan kelas. Setelah menghabiskan waktu setengah jam berkeliling tak jelas, akhirnya ada seorang guru yang berniat baik mengantarkannya ke kantor. Menerima kunci loker dan jadwal pelajaran disana. Jeny dipandu guru tersebut ke kelas miliknya. Dan berakhirlah dia disini. Diantara pasang mata yang menyelidik menatapnya.
"Sudah cukup perkenalannya, aku harap kalian membantu Jeny untuk beradaptasi di kelas barunya." Guru Fiana atau wali kelasnya, memandang kesekitar dengan pandangan tegas. Lalu menoleh ke arah Jeny, " Nah, Jeny. Kau bisa duduk di sebelah Nana. Nana, angkat tanganmu."
Seorang gadis dengan potongan rambut sebahu mengacungkan tangan. Ia duduk di barisan ke tiga. Begitu dipersilahkan ke tempat duduknya, Jeny bergerak ke arah kursi yang kosong disebelah Nana.
Nana menyodorkan tangannya disertai senyuman, gadis itu memakai kacamata. Matanya agak sipit, dengan kulit putih. Seperti keturunan Tionghoa.
"Namaku Nana. Salam kenal. Semoga kita menjadi sahabat." Kata Nana dengan ceria.
Jeny tidak yakin dengan kata terakhir itu. Karena sejauh masa sekolahnya, tidak ada teman yang bisa disebut sebagai sahabat. Tapi ia menyalami tangan Nana dan membalas senyum gadis itu.
Nana juga mengenalkan Dina padanya. Dina adalah teman Nana. Ia duduk di depan meja mereka. Di baris kedua. Keduanya memang sudah akrab. Dan Nana mengenalkan Dina padanya, berharap mereka menjadi sahabat. Nana adalah gadis polos yang memandang dunia ini dengan kecerian yang ia punya. Selalu berpikir positif dan baik hati pada semua orang. Sebaliknya Dina, ia adalah sosok tomboy. Selalu menggulung lengan bajunya. Paling banyak berbicara diantara dirinya dan Nana.
Pelajaran pun dimulai.
✍✍✍
(10 November 2018)
Akhirnya ku putuskan untuk melanjutkan cerita ini. Fighting!
KAMU SEDANG MEMBACA
HIDDEN [Dark Series IV] [End]
Mystery / ThrillerJeny pikir hidupnya sekarang akan berubah. Dengan memiliki Ayah dan juga kakak baru. Rumah yang megah dan keinginan yang selalu terpenuhi. Hidupnya benar-benar seperti seorang putri di rumah besar itu. Tapi ada sesuatu yang janggal disana. Ada sesua...