III. Luna

4K 389 4
                                    

Matanya mengerjab lalu perlahan terbuka. Silau lampu membuatnya terpejam sejenak, menyesuaikan pandangan lalu membukanya secara jelas. Pemandangan atap dengan wallpaper langit biru penuh awan. Ia melirik ke samping kiri tubuhnya. Hanya ada dinding berwarna merah jambu, tirai familiar, rak buku dan lemari pakaian. Ia kenal tempat ini. Ini kamar barunya.

"Kamu sudah bangun, Jeny?"

Suara itu mengalihkan atensinya. Ia menoleh ke kanan, ibunya. Memandangnya dengan raut cemas. Sesekali tangannya yang telah mengeriput membelai dahinya dengan lembut.

Jeny mengangguk singkat. Tubuhnya seakan tidak punya tenaga. Lemas dan lelah. Sementara kerongkongannya kering. Ia melirik nakas yang ada di kanan sisi tempat tidurnya. Ada segelas air diatas sana. Tangannya terulur namun terhenti ketika ibunya lebih dulu mengambilkan. Membantunya ke posisi duduk lalu meminumkan untuknya.

Sempat ia bertanya dalam benaknya, kenapa ia bisa terbaring ditempat tidurnya dengan tubuh yang lemas seolah ia baru saja lari maraton. Namun serentetan kejadian di ruang makan membuat dahinya mengernyit dan memejamkan mata. Ia menarik napas panjang dan menghelanya keluar. Ketika membuka mata, ia menemukan ibunya menatap khawatir.

"Kenapa Jeny? Kamu tidak pernah pingsan. Kamu membuat Ibu takut."

Tomy datang memasuki kamarnya. Pria itu menepuk bahu ibunya dengan lembut dan memberikan sorot tenang kepada Ibu dan juga Jeny.

"Tenanglah, Lina. Kata dokter Jeny cuma syok."

"Syok?" Alis ibu menyatu heran, "kenapa syok bisa membuat Jeny pingsan? Dia tidak terjangkit penyakit serius kan? Selama ini, dia tidak pernah pingsan."

"Tidak, Lina. Jeny hanya syok." Lengan Tomy memeluk bahu ibunya untuk menenangkan.

Tapi sepertinya itu tidak berhasil. Ibunya menatapnya kini dengan pertanyaan-pertanyaan yang tergambar jelas diwajahnya.

"Jeny, apa yang membuatmu syok? Apa kamu alergi dengan makanan yang kita makan tadi? Katakan pada Ibu. Ibu cemas akan keadaanmu."

"Itu ada..." kata-kata yang tersusun rapi dalam benaknya hilang kala matanya tak sengaja bersipandang dengan mata Galang yang berdiri diambang pintu kamarnya. Seakan menunggu jawabannya juga.

Jeny mengalihkan tatapan. Ia menunduk memandang selimut yang menutupi kakinya. Jika ia mengungkapkan hal diluar nalar. Apakah ada yang mempercayainya? Mungkin Tomy akan menganggap dia aneh dan Galang akan mengejeknya karena membuat jawaban yang mengada-ada. Lalu Tomy akan menganggap Ibunya sama gila dengan dirinya. Ia tidak ingin itu terjadi.

"Tidak ada." Putusnya dengan suara pelan.

"Tidak ada? Lalu kenapa kamu bisa syok sayang?" Ibu Lina masih tak percaya. Firasat keibuan mengatakan ada sesuatu.

"Aku hanya lelah, Ibu." Jeny membaringkan tubuhnya, menarik selimut sampai batas dadanya. Kemudian memejamkan mata. Ia memang lelah dengan semua kejadian hari ini.

"Baiklah. Kalau begitu kamu harus istirahat yang cukup." Ibunya mencium pipinya. Memberi belaian terakhir lalu beranjak berdiri.

"Hm." Jeny hanya menberi gumaman jawaban.

"Selamat tidur, Jeny." Tomy mengusap kepalanya dengan lembut.

Jeny menganggukkan kepala sedikit.

"Jangan matikan lampunya."

Suara Jeny menghentikan gerakan tangan Ibunya yang hendak menekan saklar. Ibunya memandang Jeny yang tengah terpejam matanya dengan wajah bingung.

"Kenapa?" Tanyanya heran.

HIDDEN [Dark Series IV] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang