Hawa dingin menelusup ke kulit Jeny yang masih memakai kaosnya siang tadi. Gadis itu tertidur diatas sofa nampak kepayahan sehabis menyusun barang-barangnya. Dahinya mengernyit manakalah hawa dingin itu makin kian terasa menusuk. Mengganggu tidurnya. Lalu sesuatu yang tajam seperti kuku menelusuri pipinya. Kesadarannya langsung muncul, namun tubuhnya tak bisa digerakkan. Matanya seakan ditempel dengan lem. Bibirnya ingin berucap namun terasa kaku. Tapi telinganya dapat mendengar. Suara detak jam lalu tidak ada lagi suara lain. Sunyi.
Jari kuku itu masih setia bergerak diantara pipinya hingga berhenti dibawah kantung matanya. Menekannya. Jeny langsung terperanjat. Tubuhnya tersentak bangun. Matanya terbuka sempurna. Ia duduk tegak. Dapat dirasakannya pegal dileher dan ngilu di belakang punggungnya sebelah kiri akibat tidur disofa. Tapi itu bukanlah fokusnya sekarang, ia ingin mencari siapa orang yang iseng memainkan jari kuku di wajahnya. Namun tidak ada siapapun yang ia lihat selain gelap disekeliling kamarnya.
Cahaya lampu lorong memasuki kamarnya dari pintu yang terbuka sedikit. Seharusnya pintu itu tertutup karena sebelum ia tidur ia kunci. Namun sekarang terbuka dengan cela kecil yang muat untuk tubuh seseorang. Penasaran, Jeny bangun berdiri. Melangkah mendekati pintu. Tapi ia tercengang, kala melihat lantai didekat pintu tersebut. Ada jejak kaki berdarah dari dalam kamarnya hingga keluar dan menuju kamar Galang. Jejak kaki itu terhenti didepan pintu kamar Galang yang tertutup. Antara takut, mual dan juga penasaran.
Pertanyaan-pertanyaan muncul dalam pikiran Jeny, jejak kaki siapa itu? Mungkinkah pemilik kuku yang menelusuri pipinya? Atau ini ulah Galang?
Jeny menyentuh kenop pintu coklat itu. Mendorongnya ma--
"Mau apa?"
Sahutan suara dingin itu terdengar jelas di samping kiri tubuhnya.
Jeny menoleh, Galang menatapnya penuh selidik dan tak suka. Ia melepaskan kenop pintu itu lalu memandang Galang dengan curiga.
"Kenapa kau berdiri didepan pintu kamarku?" Tanya Galang lagi.
"Seharusnya aku yang bertanya, kenapa kau mengerjaiku?"balas Jeny.
"Mengerjai apa maksudmu?" Alis Galang menukik naik mendengar kalimat tuduhan dialamatkan padanya, matanya tajam memandang Jeny.
"Kau masuk ke kamarku kan?"
"Jangan berhalusinasi. Aku sedari tadi dibawah. Dan jelas-jelas kau yang mau masuk ke kamarku."
"Aku tidak masuk."
"Tepatnya belum."
"Okey. Aku memang mau masuk, karena ada jejak darah di kamarku dan jejak kaki itu berhenti di depan pintumu."
"Jangan mengada, tidak ada darah disini."
"Ada! Li--"
Jeny terdiam bungkam ketika matanya menatap lantai dibawahnya. Bersih tidak ada noda darah atau jejak kaki. Ia berbalik ke arah kamarnya, mungkin jejak itu masih ada didalam sana. Namun ia sekali lagi dibuat tercengang kala menatap kamarnya yang terbuka memang sengaja tidak ditutupnya. Disana lampu menyala terang dan tidak ada apapun yang ganjal. Bukankah saat ia bangun tadi, suasana gelap? Apakah memang ia sedang berhalusinasi? Tapi kenapa kejadian itu sangat nyata? Dan ia juga tidak menyalakan saklar lampu saat keluar tadi.
Ia baru semenit berdiri disini dan Galang datang, dan semuanya sudah kembali normal? Apakah yang ia alami tadi hanya mimpi?
"Tidak ada," mata Jeny terlihat menerawang, "mungkin hanya halusinasiku saja."
Galang langsung membalik tubuh, "Ibumu menyuruhku untuk memanggilmu makan malam." Lalu ia melangkah tanpa menunggu Jeny yang masih termenung ditempatnya.
Jeny menghela napas, tak habis pikir. Tapi biarlah. Ia mulai melangkah mengikuti Galang menuju ruang makan.
***
"Kau menyukai kamarmu, Jeny?"
Jeny berpikir lama, menimbang apa perlu mengungkapkannya atas ketidaksukaannya pada warna yang menyelimuti kamar barunya.
"Sebenarnya aku membenci warna pink."
"Hahaha...maafkan saya Jeny. Saya pikir wanita banyak menyukai warna lembut dan cerah. Nanti saya akan menggantinya dengan warna lain. Kau memiliki rekomendasi untuk cat kamarmu? Mungkin warna kesukaanmu?"
"Aku menyukai warna biru."
Jeny menangkap mata Galang yang meliriknya sekilas saat menyebutkan warna biru. Hanya sedetik. Lalu pemuda itu fokus lagi dengan makanannya.
"Nanti saya akan menyuruh Pak Arman untuk mengecat ulang."
"Terima kasih."
Makan malam kembali berlangsung dengan hangat. Nampak Ibunya bercakap ria dengan Tomy. Sedangkan Galang lebih menekuni makanannya.
Tak sengaja garpu disisinya tersenggol oleh lengannya. Terjatuh dan berdenting di lantai. Jeny membungkukkan badan untuk mengambilnya, tangannya terulur lalu mengambil garpu itu tapi tubuhnya membeku ditempat.
Ujung matanya menangkap pergerakan disebelah kursi Galang. Yang duduknya berseberangan dengan dirinya. Seharusnya kursi itu kosong, tapi sekarang seseorang tengah duduk disana. Kakinya menjuntai tak menyentuh lantai. Sepasang kaki itu dipenuhi luka dan borok mengeluarkan darah dan juga nanah. Belatung kecil seukuran ujung kuku nampak menggeliat didalam luka itu. Jeny menahan mual. Apa-apan ini? Apakah ini halusinasinya lagi?
Sosok itu memakai rok abu-abu sebatas pahanya, noda merah memenuhi baju seragam yang sosok itu kenakan. Jeny tidak bisa menggerakan tubuhnya, badannya seakan dipaku kuat-kuat. Mulutnya membuka berusaha berteriak namun tidak ada suara diantara bibirnya. Pita suaranya seakan kehilangan fungsi.
Apalagi ketika sosok itu membungkukan tubuhnya seolah tahu ada seseorang yang mengetahui kehadirannya. Rambut panjangnya turun menyentuh bibir meja. Mata Jeny membelalak ngeri. Tidak ingin mengetahui setelahnya tapi matanya seakan dipaksa terbuka. Rambut panjang nan kusut itu semakin turun. Jeny tidak merasakan jantungnya lagi. Wajahnya memucat bak kapas tersiram air. Menantikan wajah yang mengerikan yang akan menatapnya balik.
"Jeny!" Suara itu seolah terdengar jauh.
Tepat sebelum wajah sosok itu terlihat, seseorang menarik tubuhnya keatas. Jeny terpaku dengan mata nyalang. Ibunya berteriak cemas dan mengguncang bahunya. Suara-suara disekelilingnya lenyap. Tidak terdengar. Dia hanya bisa melihat gerakan bibir Ibunya yang membuka. Namun tidak ada suara atau bunyi yang dapat dengar.
Tomy berdiri dibelakang Ibunya menampilkan raut khawatir. Jeny menoleh ke seberang meja, Galang berdiri menatapnya dengan raut penasaran. Ia mengalihkan tatapan ke sebelah kursi Galang, tidak ada siapapun...
Entah karena lelah atau apa, pandangannya menggelap, tubuhnya oleng lalu pingsan.
"Galang, panggil dokter!"
Itu suara Tomy sebelum semuanya hilang ditelan gelap.
✍✍✍
( 7 oktober 2018)
Ngetik part ini sungguh butuh iman yang kuat. Aku nggak berani nulis malem walau ide udah nyangkut dikepala. Horor sendiri, gila!
Aku bayangin aja ngeri sendiri apalagi kalian yang baca😂.
Memang cerita dark ini beda dari dark series yang lain. Cerita ini memadukan horror dan thriller. Makanya kalau kalian baca, siang-siang aja😅. Tau sendiri kalau malem.
Resiko ditanggung pembaca 😜
#Repost
KAMU SEDANG MEMBACA
HIDDEN [Dark Series IV] [End]
Mystery / ThrillerJeny pikir hidupnya sekarang akan berubah. Dengan memiliki Ayah dan juga kakak baru. Rumah yang megah dan keinginan yang selalu terpenuhi. Hidupnya benar-benar seperti seorang putri di rumah besar itu. Tapi ada sesuatu yang janggal disana. Ada sesua...