Pelet : Jaran Goyang #1

2.4K 68 2
                                    

Source :Beritagar.id

Bismillahirrahmanirahim
niat isun matek aji Jaran Goyang
Sun Goyang ring tengah latar
Sun sabetake gunung gugur
Sun sabetake lemah bangka
Sun sabetake segara asat
Sun sabetake ombak sirap..........

Syair itu merupakan penggalan mantra Jaran Goyang yang diucapkan Paijan, pertengahan Februari lalu. Berkat kemampuannya itu, ia banyak didatangi orang dengan berbagai keluhan. Mulai ditinggal istri hingga hubungan yang tak direstui orang tua."Jaran Goyang itu ilmu pengasihan, untuk mencari jodoh,"

Jaran Goyang berakar dari budaya masyarakat Osing, kelompok etnik yang dianggap sebagai penduduk asli Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Etnis Osing saat ini mendiami sekitar 11 kecamatan dari 24 kecamatan di kabupaten paling ujung timur Pulau Jawa ini.

Di tanah kelahirannya, Jaran Goyang juga menjadi mantra yang paling populer dibandingkan mantra lainnya. Namun, sebagai salah satu jenis santet, keberadaannya masih berselimut stigma hitam, politik pembunuhan orang yang diduga dukun santet pada 1998-1999.

Paijan bercerita, dia telah melayani permintaan Jaran Goyang selama 20 tahun. Namun tak semua permintaan dia penuhi. Paijan hanya mau melayani orang-orang yang bertujuan baik, seperti mengharmoniskan kembali hubungan suami-istri atau mendapatkan jodoh bagi yang belum kawin.

"Tapi kalau tujuannya untuk kawin lagi, padahal sudah punya anak dan istri, saya langsung menolaknya," kata pria yang tak lulus Sekolah Rakyat ini.

Ritual Jaran Goyang, kata dia, tidaklah mudah. Sebab prosesi ritual berupa pengucapan mantra harus dilakukan setiap tengah malam dan berpuasa selama 40 hari. Selain mantra sebagai sarana verbal, dibutuhkan media lain seperti foto, rokok atau merica.

Paijan mewarisi kemampuan Jaran Goyang dari kakek dan ayahnya. Kebetulan, keluarganya adalah pelaku kesenian tradisional yang lekat dengan tradisi bermantra. Dalam kesenian Banyuwangi mantra seringkali dipakai saat pertunjukan untuk menarik perhatian dari penonton.

Bahkan, Paijan mengakui, dia menggaet istri ketiganya dengan mantra Jaran Goyang setelah dua kali gagal berumah-tangga. Meski memakai Jaran Goyang, kata dia, rumah tangganya kini bertahan selama 18 tahun.

Tak seperti Paijan, dukun Jaran Goyang lain lebih tertutup. Sebut saja namanya Tarno. Keseharian pria yang juga berusia 70 tahun itu, tak lepas dari sarung dan kopiah.

Tarno berkisah, awalnya belajar Jaran Goyang dari seorang guru di Desa Pakistaji saat berusia 22 tahun. Saat itu, dia terpaksa memakai Jaran Goyang karena tersinggung ditolak dan dicela oleh seorang perempuan yang disukainya.

Setelah menjalani ritual selama 7 hari, termasuk menebarkan irisan bunga sedap malam dan pecari putih, kata Tarno, perempuan itu pun membalas cintanya. "Dia kemudian menjadi istri pertama saya," kata ayah lima anak ini.

Paijan dan Tarno adalah dukun Jaran Goyang yang tersisa. Sri Hidayati, penggiat adat Osing dari Desa Olehsari, menuturkan, keberadaan dukun Jaran Goyang saat ini tak sebanyak 15 atau 20 tahun lalu. Sekitar 2001-2002, misalnya, dia masih menjumpai 10an lebih dukun Jaran Goyang yang tersebar di sejumlah desa.

Kini, dia menduga sebagian besar dukun itu telah tutup usia. Modernitas dan trauma tragedi 1998 juga membuat para dukun tidak mewariskan kemampuan kepada anak-anaknya.

"Sekarang zaman sudah berubah, orang-orang mulai jarang memakai Jaran Goyang," kata perempuan 50 tahun itu.

Mantra Jaran Goyang sejatinya merupakan ragam dari puisi lisan masyarakat Osing yang sifatnya paling sakral. Heru S.P. Saputra dalam bukunya "Memuja Mantra: Sabuk Mangir dan Jaran Goyang Masyarakat Suku Using Banyuwangi" (2007), menyebutkan, mantra dianggap mengandung kekuatan gaib untuk menandingi kekuatan gaib yang lain.

ENSIKLOPEDIA MISTERI HOROR BUDAYA INDONESIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang