"Sa, tungguin kenapa?" Suara melengking itu menginterupsi jalannya pintu elevator yang bergerak menyatu dari kedua sisi. Disusul derap langkah setengah berlari yang secara paksa menjejalkan tubuhnya ke dalam kotak besi. Buku sketsa di tangannya melambai-lambai dalam keadaan membuka.
Reksa mengesah jengah mendapati Fio tidak segera menyimpan buku sketsa pemberiannya. Terserah lah nanti kalau Fio mau menelusuri tiap-tiap lembar halaman buku itu, mau disobek-sobek, atau dibakar sekalipun. Asal semuanya tidak dilakukan di depan matanya dan membuatnya rikuh alih-alih bangga.
"Lo kapan ngegambar ini semua, Sa? Gila. Ini semua gue, kan?" Fio terus mengoceh. Sementara kedua matanya terpancang pada goresan pensil di atas kertas yang membentuk garis-garis wajahnya. Saat ia tertawa sampai kedua matanya seolah menghilang ditelan pipinya yang menggembung, saat ia menitikan air mata haru, saat ia menangis, marah, dan ribuan ekspresi lainnya. Latar gambar itu pun bermacam-macam, dari mulai kamar tidur Fio, lapangan basket yang biasa mereka bagi bersama Damar, sekolah, aula konser, panggung, pasar malam, kali keruh di dekat SMA Pembangunan, dan banyak lainnya. Sementara latar waktunya lebih beraneka rupa sampai Fio tidak dapat mengingatnya dengan baik. Gambar-gambar itu ibarat mozaik yang merangkum momen-momen penting seorang Fiolita Larasati, yang lahir dari tangan ajaib Reksa.
Elevator terasa merangkak naik lebih lama dari biasanya. Menimbulkan rasa sesal untuk Reksa. Harusnya ia memberikan buku itu nanti saja ketika mereka hendak pulang, jadi ia tidak perlu mendapati Fio yang bersikap dramatis menyeka air mata haru di sudut-sudut matanya. Namun seharusnya Reksa tahu bahwa Fio nyaris tidak pernah bersikap dramatis, sahabatnya itu adalah perempuan paling rasional yang pernah ia kenal, yang berucap dan bertindak dengan segala kendali. Fio selalu meminimalisir drama, apa pun yang terjadi. Lalu haru yang kini ia alami sama sekali bukan sesuatu yang dibuat-buat, melainkan manifestasi dari rasa terkejut dan juga tersentuh. Salah Reksa sendiri, tidak ada angin tidak ada hujan, ujug-ujug menghadiahi benda yang teramat sentimentil bahkan untuknya pribadi.
Reksa mengalungkan tangannya ke leher Fio, setengah mencekik. "Lo kalo sampe nangis di sini itu buku gue bakar," desisnya.
Fio memekik. "Enak aja! Udah dikasih juga mau dibakar-bakar." Suaranya terdengar agak sengau oleh ingus.
Reksa melepaskan lengannya yang menjerat leher Fio. Membiarkan gadis itu memasukkan buku sketsa ke dalam tas. Pura-pura tidak mendengar ketika Fio menggumamkan terimakasih dengan nada paling tulus yang bisa cewek itu usahakan.
"Nanti gue bakal bikinin lagu dari isi buku ini." Yang ini Reksa bisa pura-pura tidak mendengar, tetapi jantungnya tidak bisa berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa.
"Terserah lo," kata Reksa acuh tak acuh.
Tepat ketika ia mulai didera salah tingkah, pintu elevator membuka. Mereka telah sampai di lantai tiga, tempat kamar rawat yang hendak mereka tuju berada. Fio melangkah terlebih dahulu dengan langkah tegapnya. Sementara Reksa tertahan dua langkah dari garis luar elevator yang telah kembali menutup. Lagi-lagi, ia harus menghela napas berkali-kali, bertarung sebentar dengan rasa takut dan sentimentilnya yang tak pernah mengendur, kemudian melangkah perlahan-lahan seperti meniti seutas tali yang membentang dari satu ujung jurang ke ujung yang lain. Sewaktu-waktu ia bisa terjatuh ke dasar.
Seolah menyadari keberadaan Reksa yang tertinggal. Fio membalikkan punggung, ia mundur beberapa langkah, menyeimbangi posisi Reksa. Tangan kanannya meraih tangan kiri Reksa yang lebih besar dari miliknya. Seakan meminjamkan kekuatan yang Reksa butuhkan saat itu. Seperti yang sudah-sudah. Sesampainya mereka di depan ruang yang mereka tuju, Fio jugalah yang bertugas mendorong pintu ganda tersebut, yang melangkah masuk lebih dulu, sementara Reksa patuh mengekori di belakang. Selalu menjadi yang paling pengecut.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Hope |√
Teen Fiction[TAMAT] About Hope - Mengenai Harapan Yang Tak Padam Damar dan Reksa itu berbeda. Begitulah yg Fio simpulkan setelah menghabiskan seumur hidupnya untuk bersahabat dengan mereka. Meski kakak beradik, fisik mereka tak sama, kepribadian mereka berlain...