Orang-orang di luar sana seringkali berpikir bahwa karena cowok seringkali menjadi pihak pertama yang mengungkapkan rasa, maka dialah yang pertama kali jatuh cinta dalam sebuah hubungan. Fio tidak begitu paham apakah pemikiran semacam itu merupakan produk budaya patriarki. Dalam kisahnya sendiri semua orang—termasuk Damar—mengira bahwa Damarlah yang kali pertama jatuh hati pada Fio. Namun mereka salah.
Fio adalah yang pertama kali berhenti memandang Damar sebagai sahabat, bahkan jauh sebelum Damar menganggapnya cukup dewasa untuk layak dicintai. Ia menjadi yang pertama mendengarkan lagu-lagu ciptaan Damar, menjadikannya teman pada malam-malam insomnia. Menjadi penggemar rahasia yang diam-diam mengoleksi foto-foto Damar dari media sosial. Fio mulai memperhatikan Damar dengan intensitas yang berbeda, bukan hanya tentang tubuh cowok itu yang menjulang tak tersaingi, otot-ototnya yang mulai bertonjolan, pertumbuhan janggut sebagai penanda masuknya usia dewasa.
Lebih dari itu semua. Fio mulai mengamati lingkar pergaulan Damar. Tentang gadis-gadis yang mengiriminya surat cinta tak berbalas, tentang isi dari lagu-lagu gubahannya, tentang caranya memperlakukan penggemar-penggemar yang selalu mengharapkan lebih darinya. Damar selalu ramah kepada siapa saja. Bedanya, tidak seperti Reksa yang memyambut tiap harapan yang ditawarkan dengan tangan terbuka. Atau Fio yang menarik diri bahkan sebelum harapan itu ditunjukkan dengan jelas. Damar membuat garis yang saru. Ia terbuka sekaligus menutup akses pada saat yang sama. Ia adalah enigma. Labirin penuh rahasia.
Pilihannya untuk berkencan dengan Milen—teman sekelasnya—dua tahun Lalu berhasil mengejutkan Fio sekaligus membuatnya patah hati. Setelah semalaman terpekur dalam lamunan dan sesekali menangis, Fio menemui Damar di rumahnya saat cowok itu sedang menonton serial Netflix yang tayang reguler dua kali seminggu.
Fio menggelosor di karpet yang sama dengan Damar. Setelah beberapa kali tarikan napas ia akhirnya bertanya. "Tipe cewek lo emang yang kayak Kak Milen gitu ya, Mas?"
Yang Fio maksud barusan adalah tubuh tinggi semampai tanpa kaca mata di wajah. Pembawaan lepas dan tawa yang biasa terdengar di mana-mana.
"Ngapain lo tiba-tiba nanya begitu?" Damar tidak berbicara sinis, tapi terdengar demikian di telinga Fio.
Karena kalo sampai begitu, berarti selamanya gue bukan kriteria lo, dan kemungkinan besar nggak akan pernah jadi pacar lo. Namun Fio mengganti suara di kepalanya itu dengan, "Cuma kepo aja."
"Mungkin," Damar mengangkat kedua bahunya lalu menjatuhkannya lagi sedetik kemudian. "Gue butuh seseorang yang sering ketawa biar gue nggak stress kalo lagi buntu nulis lagu."
"Tapi ya bukan berarti gue nggak bisa suka sama cewek yang berkebalikan dari sifat itu."
Fio tersenyum di balik wajah datarnya. Harapan yang tadi nyaris padam di hatinya kini berkobar lagi. Hingga dua bulan kemudian, setelah puluhan film-film bioskop, belasan giga kuota internet untuk telponan sepanjang malam, Damar menemui Reksa dan Fio di ruang tengah rumah keluarga Guinandra.
"Gue diputusin Milen," kata Damar saat itu, seragam dan wajahnya kusut masai.
Reksa menyahut dengan mata terpancang sepenuhnya ke layar TV. "Diputusin cewek aja lesu, cupu!"
Fio menghadiahi Reksa dengan pelototan tajam, anak cowok yang menganggap stok fans perempuannya tak pernah bisa surut itu tau apa soal patah hati. Fio kemudian bergerak ke dapur, menyeduh segelas energen jagung. Segelas saja, untuk Damar seorang. Agar Damar tahu bahwa Fio selalu ada di sampingya. Baik saat cowok itu jatuh cinta maupun patah hati. Selanjutnya hari-hari Fio diisi dengan lebih banyak mencoret-coret jurnalnya dengan nama Damar. Selagi ia menunggu hati Damar sembuh, selagi menunggu harapannya bersambut.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Hope |√
Teen Fiction[TAMAT] About Hope - Mengenai Harapan Yang Tak Padam Damar dan Reksa itu berbeda. Begitulah yg Fio simpulkan setelah menghabiskan seumur hidupnya untuk bersahabat dengan mereka. Meski kakak beradik, fisik mereka tak sama, kepribadian mereka berlain...