Lukisan itu kini dilapisi kain beludru merah. Diletakkan di ruang khusus seperti lukisan-lukisan yang lain, dengan begitu Reksa berharap ia akan berhenti menganggapnya sebagai sesuatu yang istimewa. Durasi pengiriman karya ke Tama tinggal dua hari; hari ini dan besok, sementara mimpinya sudah mencapai kerak bumi. Sudah ia kubur dalam-dalam.
Mungkin, ia masih bisa mencobanya tahun depan. Mungkin ia tidak akan mencoba sama sekali. Reksa menutup pintu ruangan berisikan ratusan kanvas itu. Tangannya merogoh saku celana jeans tempatnya menyimpan kotak rokok. Ketika menyentil tutupnya dengan ujung jari, kotak beraroma tembakau yang tinggal menyisakan sebatang rokok. Akhir-akhir ini rokoknya jauh lebih cepat habis dari biasanya.
Reksa mencari-cari pemantik dari saku yang lain sambil berjalan ke depan, tetapi urung membakar begitu sampai di ruang tengah. Ibu—yang tadi Reksa kira tidak ada di rumah—ternyata sedang duduk di salah satu sofa. Membolak-balik buku di pangkuannya. Sesuatu di pipinya berkilatan, Reksa harus mendekat untuk memastikannya sebagai air mata. Sayangnya, langkah kaki Reksa justru membuat Ibu menyeka keseluruhan wajahnya. Kilat itu menghilang dalam sekian nano detik.
"Loh, sudah pulang? Sudah makan siang?"
Nafsu makan Reksa susut sejak lama, jadi, ia menggeleng. "Belum."
Ibu memindahkan buku dari pangkuannya ke sofa. Cepat-cepat beranjak ke dapur. "Bentar, Ibu hangatin lauknya dulu ya."
Reksa mengiakan tanpa kata-kata. Membiarkan Ibu menghilang di balik dinding pemisah dengan punggung membungkuk yang memberi kesan sedih. Bagian sofa yang tadi ditempati Ibu masih hangat ketika Reksa menggantikannya. Buku yang tadi dipangku Ibu ternyata bukan kumpulan resep makanan, atau majalah edisi khusus wanita yang banyak memuat style fashion terkini, melainkan sebuah album foto.
Jejak-jejak usia memudarkan sampul depannya yang berbahan keras. Warna birunya yang dulu seterang langit musim kemarau kini meluntur, sebagain sisinya tegores entah oleh benda apa saja. Di dalamnya, di antara sekat-sekat mika, puluhan potret yang memerangkap sosoknya dan Damar semasa kecil tersimpan rapi. Masih sama baiknya seperti tahun-tahun lalu, bergantian dengan Bapak, Ibu membersihkannya secara berkala.
Mungkin, Fio benar. Bukan cuma ia yang berkabung kehilangan kakak lelaki satu-satunya. Ibu juga kehilangan anak sulungnya, Bapak juga kehilangan salah satu penerusnya. Dan, Fio ... Reksa mengerang tertahan, gadis itu kehilangan kekasihnya, cinta pertamanya, sahabatnya.
Ia telah berlaku tak adil. Kepada, Ibu, Bapak, bahkan Fio; orang-orang yang begitu ia cintai tetapi ia sakiti habis-habisan.
Reksa menutup album foto itu, lantas memeluknya erat-erat. Damar tidak akan bahagia dikenang dengan cara seperti ini.
<About-Hope>
Reksa kira sisa hari ini akan berjalan dengan lambat, lalu berakhir tanpa kejutan. Ia akan menghabiskan makan siang dengan masakan Ibu yang akhir-akhir ini semakin beraneka rupa untuk menyiasati nafsu makan anaknya yang pasang-surut. Merokok sampai malam di teras depan. Berangkat tidur lebih awal, sengaja melewatkan mandi sore dan makan malam. Seperti tikus yang memutari turbin plastik di dalam kotak kaca.
Ia tidak akan sempat merasa bosan. Sebab, saraf-saraf dalam tubunya sudah mati rasa.
Reksa menjepit batang rokok terakhir yang tersisa dari kotak lama. Di samping asbak, kotak baru tergelatak dalam keadaan masih tersegel. Kejutannya datang pada saat pendar api di lubang pemantik bergoyang tertiup angin. Adalah Mayang, dalam setelan baju super rapi dan make-up tipis terpulas di wajah.
Reksa menyelipkan kembali rokok terakhir itu ke dalam kotaknya. "Ngapain lo ke sini?" Reksa hanya terkejut, tapi intonasi yang mengalir dari mulutnya terdengar sinis.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Hope |√
Teen Fiction[TAMAT] About Hope - Mengenai Harapan Yang Tak Padam Damar dan Reksa itu berbeda. Begitulah yg Fio simpulkan setelah menghabiskan seumur hidupnya untuk bersahabat dengan mereka. Meski kakak beradik, fisik mereka tak sama, kepribadian mereka berlain...