26. Mengenai Harapan

266 20 0
                                    

"Papa saya bikin kamu nggak nyaman ya?" tanya Fio sambil menyaksikan Ruben mengenakan helm. Gerbang di belakangnya masih tersibak membuka, dan Fio akan tetap berada di sana hingga Ruben nantinya berlalu. "Maaf."

"Kok jadi kamu yang minta maaf?" Sinar lampu dari teras terhalang bagian depan helm yang memayungi wajah Ruben, membuatnya terlihat pucat. "Papa kamu lawan main yang seru. Beliau menang sekali, dan saya juga menang sekali."

Permainan catur tadi berlangsung lebih dari dua jam. Selama itu Fio berdiam di dapur bersama Mama, untuk memastikan ruam di lengannya berkurang. Juga untuk mendengarkan cerita penting pada waktu yang sebenarnya salah. "Apa pun yang tadi Papa bilang ke kamu, jangan didenger, semua itu nggak penting. Kalau dia minta sesuatu dari kamu, jangan dikasih. Pokoknya, anggap aja semua itu nggak pernah ada."

"Saya nggak bisa pura-pura nggak tau sama apa yang udah saya denger sendiri." Bibir Ruben tersenyum, tetapi Fio justru lebih tertarik pada kerut-kerut di dahinya, yang tampak makin dalam dan rapat setelah pertemuan dengan orang tuanya tadi.

Gadis itu menjulurkan tangan. Dengan ujung-ujung jemarinya yang mengeras oleh dawai gitar selama bertahun-tahun ia mengusap dahi Ruben, berharap bisa menyingkirkan pikiran kusut yang menciptakan jejak berkerut itu. "Saya nggak mau nambah-nambahin beban pikiran kamu."

Ruben tidak turun dari jok motornya. Hanya lengannya terulur panjang, melingkari sekeliling tengkuk Fio, lalu membawanya mendekat. Ketika kepalanya membentur tubuh Ruben, Fio tidak menemukan jejak-jejak yang biasanya identik dengannya meski telah menghidu dalam-dalam. Rasanya rindu, terhadap aroma tembakau, robusta, mint, pelembut pakaian, segala sesuatu yang biasanya terbawa oleh kehadiran laki-laki itu.

Pada detik itu, rasa sayang terhadap Ruben akhirnya tumpah. Menjelma jadi rasa takut akan kehilangan. Kali ini, sebagian identitas Ruben terkikis. Lantas besok apa lagi yang harus dilepaskan laki-laki itu? Apa lagi yang harus dikorbankannya? Pekerjaannya di Tematis untuk ditukar dengan bangku Tekhnik Sipil ITB yang tidak pernah benar-benar ia inginkan? Ruben tidak harus kehilangan dirinya sendiri agar bisa bersamanya.

"Kamu selalu ada di pikiran saya tapi bukan sebagai beban."

Kerut samar itu tidak hilang ketika Ruben mendorongnya menjauh, menurunkan kaca helm, menarik zipper jaket. Sesuatu mengenai punggungnya yang membungkuk untuk menggapai setir dan disiram cahaya dari lampu-lampu jalanan, yang tidak lebih baik dari temaram lampu teras, terlihat sedih. Terasa sedih.

Rasa sedih itu, juga kekosongan yang tinggal setelah kepergian Ruben menggerakkan Fio untuk berjalan ke rumah di sampingnya. Di kepala Fio, kenangan tentang rumah dua lantai itu berganti-ganti. Dulu, sewaktu kecil, rumah itu adalah tempat yang menyimpan banyak cahaya. Tidak hanya secara harfiah tentang lampu-lampunya yang menyala di tiap-tiap petak, tetapi juga cahaya yang menghangatkan hati.

Hingga awal masa SMA-nya, rumah keluarga Guinandra selalu ramai oleh celoteh keempat penghuninya. Semacam suaka yang ia cari dan temukan ketika sepi di rumahnya sendiri terasa menelannya bulat-bulat. Ketika melewati pintu pada jam-jam seperti ini, Fio akan dipertemukan dengan harum aroma masakan yang bergelimpangan dalam mangkuk-mangkuk besar di meja makan, gemerincing sendok garpu yang membentur piring-piring keramik, dan butir-butir nasi yang tercecer di lantai sebab Reksa seringkali makan sambil bolak-balik menengok pertandingan bola di tv.

Semalaman, aroma manis akan mengalir ke tiap-tiap sudut rumah. Tangkai-tangkai pegangan kursi diam-diam menyimpan selaput es krim yang telah mengering, baru ketahuan ketika pasukan semut mulai berdatangan dan membuat sarang.

Rumah ini juga pernah menyerupai tempat tinggalnya. Saat di mana kehidupan di dalamnya seolah berhenti bersama lampu-lampu yang selalu terlambat dinyalakan. Juga debu-debu yang berkumpul di permukaan perabotan.

About Hope |√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang