Pagi masih begitu dingin ketika Fio menjalin ikatan tali sepatunya di depan pintu kamar kos Ruben. Gadis itu belum mandi, tetapi sudah menambal bedak berulang-ulang untuk menyamarkan sembab di bawah kedua matanya.
"Kamu bisa stay lebih lama, kita bisa sarapan bareng dulu, atau jogging, atau nonton film. Anything," tawar Ruben yang menyerupai permohonan.
Fio mengencangkan simpul terakhir, terlalu kuat sampai ujung jari-jarinya terhimpit kesakitan. Paru-parunya sesak. Baru saat itu disadarinya benar-benar bahwa ia membutuhkan ruang di mana Ruben tidak turut berotasi di dalamnya. Untuk beberapa waktu ke depan. Sebab, mustahil terus berpura-pura tidak terjadi apa-apa saat memang terjadi apa-apa.
Ketika memaksa berdiri dengan memberikan tolakan keras pada tubuhnya sendiri, kepala Fio mendadak pusing. "Nggak enak juga sama temen-temen kamu kalo di sini terlalu lama. Lagian, nanti Ibu Kos kamu udah balik dari kampung, kan?"
Ruben memainkan sekeping kunci motor di tangannya. "Oke."
"Tolong ambilin gitar saya."
Fio mengulurkan tangan, meminta Ruben mengestafetkan sarung gitarnya yang disandarkan di pintu, di balik tubuh Ruben yang tampak tidak setegap biasanya. Ruben justru membetot tangan itu, menyentak Fio ke dalam pelukannya. Dari lingkaran tangannya yang begitu ketat, Fio tahu bahwa sejak tadi hal itulah yang ingin dilakukan Ruben, yang ditahan-tahannya hingga tersiksa.
Di antara deru napas yang berantakan laki-laki itu berbisik. "I won't hurt you. Nggak semalam, nggak sekarang, nggak besok, nggak selamanya. Kamu tau itu kan? Kamu percaya sama saya kan?"
Sesaat setelah hujan reda, adalah saat di mana orang-orang seringkali merasakan terlalu banyak. Kadangkala, perasaan sesaat pun disalah artikan sebagai tujuan terbesar mereka. Sebagai sesuatu yang benar-benar mereka mau.
Barangkali, semalam, Ruben hanya sedang merasakan terlalu banyak, dan dingin yang dibawa sisa-sisa hujan membuat mereka membutuhkan satu sama lain lebih dari yang sudah-sudah. Berharap bisa saling meminjamkan kehangatan.
Lalu cara Ruben menyentuhnya yang terasa begitu mendominasi, seolah sedang mencari validasi akan kepemilikan, yang seolah berusaha meyakinkan dirinya sendiri akan sesuatu yang entah apa—Fio menggeleng lemah, berusaha mengenyahkan segala pemikiran itu.
"Kamu percaya sama saya kan?"
Fio mengangguk. Ia akan berusaha.
<About-Hope>
Durasi pengiriman lukisan ke Tama kian menyempit.
November mengirim lebih banyak mendung, tetapi hanya segelintir yang kemudian benar-benar jatuh jadi hujan. Reksa terus mengulur-ngulur waktu, setiap kali Mayang menanyakan progres lukisannya, laki-laki itu menghindar dengan berbagai macam topik.
Rasanya segala sesuatu sedang berjalan pada lajur yang salah.
Reksa terlihat berbeda. Ketika jam istirahat tiba, cowok itu tidak berada di kantin untuk menukar sarapan pagi yang terlewat dengan soto ayam langganannya, atau di ruang klub lukis, atau di gazebo taman, atau sekedar berada di kelas untuk malanjutkan push rank mobile legend. Ia bisa tiba-tiba menghilang begitu saja.
Ketika akhirnya bertemu lagi untuk pulang bersama, setiap jawaban yang Mayang terima pun tidak menjelaskan apa-apa. Sebab yang keluar dari mulut Reksa hanyalah kata-kata penenang yang kosong, nyaris menyerupai kebohongan. Iris coklat terang laki-lai itu, yang dulu ibarat cermin; memantulkan apa pun yang dirasakan pemiliknya. Kini keruh dan berkabut. Sebelum menemukan apa-apa, Mayang akan lebih dulu tersesat di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Hope |√
Roman pour Adolescents[TAMAT] About Hope - Mengenai Harapan Yang Tak Padam Damar dan Reksa itu berbeda. Begitulah yg Fio simpulkan setelah menghabiskan seumur hidupnya untuk bersahabat dengan mereka. Meski kakak beradik, fisik mereka tak sama, kepribadian mereka berlain...