Selain identik dengan kumuh, lingkungan kali di belakang SMA Pembangunan juga nyaris tak pernah lepas dari kebisingan. Aliran air sungai yang sudah tak diketahui lagi nama aslinya itu menderu dua puluh empat jam tanpa henti, menggiring tumpukan sampah yang mencemari pembuluh darahnya sejak puluhan tahun lalu. Di sepanjang bantarannya berdiri bangunan semi-permanen berupa papan triplek dan asbes murahan tempat berjualan warga-warga terpinggir, mayoritas dari mereka adalah pendatang yang nekat merantau tanpa ijazah dan skill memadai.
Dari sekian banyak kios-kios reyot yang berdiri di sana, Reksa dan Fio punya satu tempat langganan. Mereka bisa menyebutnya kios Pak Geng, sebab sang pemilik bernama Pak Sugeng. Puluhan kunjungan membawa Fio dan Reksa mengetahui sejarah hidup Pak Geng sendiri. Mengenai awal mula ia terdampar di Jakarta, hidup menggelandang dari satu emperan toko ke emperan yang lain karena ditipu saudaranya sendiri, tidak punya cukup ongkos untuk pulang, hingga akhirnya cukup beruntung berhasil membangun kios untuk tinggal sekaligus mengais rupiah. Meski hingga kini Fio tidak bisa melihat dimana letak 'keberuntungan' itu.
"Nak Reksa beneran nggak kenapa-kenapa itu mukanya?" Pak Geng menyuguhkan gelas kopi kedua untuk Reksa. Membunyikan pertanyaan yang sama untuk ketiga kalinya sejak mereka datang kemari. Padahal, setelah dari klinik tadi, wajah Reksa sudah jauh lebih baik. Robekan di dahinya sudah dibalut perban sekali pakai, lebamnya sudah diolesi salep, dan sisa-sisa darahnya sudah dibersihkan.
"Nggak papa, Pak, udah diobatin," jawab Fio mewakili Reksa.
Pak Geng masuk ke dalam kios lantas kembali lagi untuk membawa energen jagung kedua untuk Fio. Berjam-jam di sini tanpa banyak percakapan membuat Fio dan Reksa sama-sama menyibukkan diri dengan minuman wajibnya masing-masing. "Kok bisa sampai parah begitu?"
Reksa yang sejak tadi irit bicara mendongak untuk menunjukkan cengiran kepada Pak Geng. Sebuah kode bahwa nada khawatir yang tersirat di dalam ucapan Pak Geng tadi tidak seharusnya ada. "Biasa, Pak, anak cowok ribut-ribut kecil. Abisnya tadi ada masalah ruwet, kalo saya nyelesainnya cuma pake omongan nggak bakal kelar sampe ayam jantan bertelur. Jadi ya tonjok-tonjokkan dikit nggak masalah."
Fio menampar belakang kepala Reksa sampai terdengar bunyi nyaring. Membuat cowok itu mengaduh kesakitan.
"Nggak gitu juga, bego!"
Reksa menapat Fio nyalang. "Terus gimana? Lo nyuruh gue bacot-bacotan sama Denis? Kayak kalo temen lo si Tania itu ribut-ribut sama anak-anak cewek kelas 12."
"Ya kan bisa diselesein baik-baik, bilang ke guru BK."
Reksa mendecih. "Ngadu, maksud lo? Lo udah liat berapa kali Denis keluar-masuk ruang BK gara-gara bikin onar? Nggak keitung lagi, Fi. Tapi liat, apa dia berubah? Apa sekarang dia udah jadi lebih baik, lebih kalem, lebih alim? Yang ada makin bar-bar!"
Reksa benar. Oleh sebab itu Fio terdiam. Bantahan-bantahan di ujung lidahnya seperti berbalik menyerangnya. Untuk sesaat, mereka saling diam, hingga Pak Geng yang sejak tadi berdiri di dekat mereka menengahi.
"Ya udah, kalo mau ribut-ribut, silahkan. Biar lega. Tapi jangan pukul-pukulan ya." Setelah itu Pak Geng menyingkir. Meninggalkan dipan berlapis karung beras di luar kiosnya, tempat Reksa dan Fio berada. Memberikan mereka ruang yang dibutuhkan.
Fio menghela napas lelah. Ia memandanng gelas energennya yang baru. Beberapa butir jagung kering mengembang di permukaan gelas, perlahan-lahan melunak. "Tapi harusnya, lo nggak mukulin Denis sampe ancur-ancuran begitu. Bukan tugas lo buat ngehukum dia. Lo juga nggak seharusnya dapet skors, nggak seharusnya dapet surat panggilan orang tua. Tante Dira dan Om Wahyu udah cukup repot."
Ketika kembali mengangkat pandangan, Fio menemukan Reksa yang sedang menyesap kopi hitamnya. Reksa bilang, kopi buatan Pak Geng itu enak, beda, dan jauh lebih berciri-khas daripada kopi-kopi di café mana pun. Reksa mengibaratkannya seperti Tiwus di Filosofi Kopi, terpencil, tak dikenal, terpinggirkan, tetapi bisa membuat seorang barista seidealis Ben jatuh hati. Kopi itu jugalah yang membuat Reksa terus datang kemari. Sejak awal, tempat ini memang hanya milik Reksa dan Fio. Damar terlalu menyukai kebersihan sampai tidak merasa aman untuk membaur di sini. Padahal, kata Reksa, pemandangan anak-anak kecil yang bermain-main di kali, merasa bebas menceburkan diri di air kecoklatan tanpa khawatir diserang diare atau gatal-gatal banyak mendatangkan inspirasi untuk melukis.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Hope |√
Teen Fiction[TAMAT] About Hope - Mengenai Harapan Yang Tak Padam Damar dan Reksa itu berbeda. Begitulah yg Fio simpulkan setelah menghabiskan seumur hidupnya untuk bersahabat dengan mereka. Meski kakak beradik, fisik mereka tak sama, kepribadian mereka berlain...