Sebelum naik panggung, Malik sengaja menyeret Fio ke salah satu sudut Tematis yang sepi. Tempat bak-bak berisi tanaman hias dedaunan berkumpul dan disusun untuk mempercantik interior café.
"Lo masih grogi, Fi?" Malik yang cenderung tegas untuk mendisiplinkan anggotanya pada saat latihan, justru bisa bertindak sangat perhatian sebelum mereka tampil di depan banyak orang.
Fio memukul bahu Malik bercanda. Selamanya ia tidak akan mengaku bahwa hal yang membuatnya grogi saat pertama kali bernyanyi di Tematis bukan karena rasa sentimentalnya terhadap café ini tetapi karena kemunculan Ruben di balik meja bar. Namun kali ini Fio akan menjamin supaya Malik tenang. "Gue grogi? Kebetulan aja waktu itu, Lik."
Tawa Malik mengisi sudut kecil tempat mereka berada, tetapi tidak terdengar benar-benar lepas. "Yakin?"
Fio mengibaskan tangan. Ia membetulkan lipatan roknya sambil berpikir untuk mengalihkan Malik. "Gerry sama Amel udah terkondisikan?"
Malik melirik panggung kecil di pusat Tematis. Gerry dan Amel ada di sana. Sedang mengatur instrumennya masing-masing. Mereka tampak berjarak, enggan membuat kontak mata, terlalu fokus kepada kegiatan masing-masing hingga membuat keduanya seolah tak berpijak di tempat yang sama.
Fio kembali memandang Malik yang tampangnya berubah masam. "Semoga hal ini nggak terlalu lama, pusing gue."
Fio mengamini dengan anggukan kepala. Pada perang dingin yang terjadi di antara Gerry dan Amel, Malik dan Fio memang tidak bisa mengintervensi terlalu banyak sebab apa yang mereka ributkan menyangkut sejarah panjang. Yang bisa mereka lakukan sekarang adalah naik ke panggung sesuai pengumuman dari MC lalu beraksi sebaik mungkin sesuai bidangnya masing-masing. Ketika setengah lusin lagu lalu selesai dibawakan dengan mulus, sebuah tangan di tengah kerumunan tiba-tiba teracung tinggi.
"Wah ada yang angkat tangan tuh, coba-coba kita tanya dia maunya apa?" MC yang seharusnya mengumumkan bahwa Fio dan teman-temannya akan turun panggung dan berjumpa lagi minggu depan kini justru memperhatikan tangan teracung itu. "Iya, coba agak mendekat biar kelihatan dari sini."
Kerumunan membelah, orang-orang yang semula merapat ke panggung kembali ke mejanya masing-masing. Pemilik tangan itu mendekat ke arah panggung. Tubuh dan wajahnya dibanjiri penerangan utama dari lampu halogen yang digantung di tengah-tengah café. Fio mengenalinya. Laki-laki di balik kemeja monokrom dan apron cokelat khas barista.
"Saya mau request lagu."
MC laki-laki reguler Tematis berdecak penuh sesal. "Tapi adik-adik kita ini sudah selesai. Biar pulang dulu, bobok, besok sekolah." Tawa-tawa kecil terdengar karenanya.
Ruben bersedekap di tempat yang sama. "Yang lain boleh pulang, saya cuma mau request lagu dari vokalisnya aja."
Rasanya panggung yang berada di bawah kaki Fio berubah jadi semacam tungku yang mengumplkan bara api. Menebarkan rasa panas ke sekujur tubuhnya.
"Wah... wah ... barista kita itu sepertinya fans kamu, Fiolita. Gimana, mau bernyanyi untuk dia?"
Fio menatap Ruben sengit. Bisa-bisanya cowok itu menempatkannya dalam posisi semacam ini tanpa mendisukusikannya terlebih dahulu. Di seberang sana, Ruben tampak menahan senyum multitafsir. Fio memandang Malik dan Gerry bolak-balik. Meminta pertolongan. Keduanya tampak pasrah.
"Yuk kasih semangat buat Fio." MC itu mengajak seisi café untuk menyebut nama Fio bersama-sama. Berulang-ulang. Seperti memberi dukungan pada waktu dan situasi yang salah. "Fio ... Fio ... Fio."
"Oke." Fio memberikan apa yang Ruben mau. Belum apa-apa ia sudah memperoleh tepuk tangan gemuruh. "Satu lagu saja ya."
Fio menatap satu-satu teman-teman band-nya yang bergerak turun. Ia sempat melihat Malik mengangkat kepalan tangan untuknya. Pertanda semangat. Sementara Gerry yang pendiam memberi senyum tipis, begitu pula dengan Amel. Seseorang yang bertugas mengatur sound system Tematis memberinya kursi berbantalan empuk. Membantu Fio membetulkan tiang stand mic. Baru kembali turun dari panggung setelah memastikan Fio nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Hope |√
Teen Fiction[TAMAT] About Hope - Mengenai Harapan Yang Tak Padam Damar dan Reksa itu berbeda. Begitulah yg Fio simpulkan setelah menghabiskan seumur hidupnya untuk bersahabat dengan mereka. Meski kakak beradik, fisik mereka tak sama, kepribadian mereka berlain...