18. Mengenai Kenangan Ikan Mas Koi

377 27 0
                                    

Fio dan Damar pernah membicarakan tentang kehilangan. Satu kali.

Kenangan itu telah usang, terbenam bersama hal-hal lalu lainnya. Fio sendiri tidak menyangka di antara banyak kenangan indahnya bersama Damar seperti halnya ciuman dan kencan pertama, percakapan yang dulu dianggapnya remeh itu ternyata memiliki tempat tersendiri. Kini ketika Fio terbaring di kamarnya yang dibiarkan temaram, setelah entah berapa banyak hari yang telah berlalu, ingatan akan sore hari mendung itu membayang sesegar baru terjadi kemarin.

Saat itu hubungannya dengan Damar masih sebatas sahabat karib dengan rumah bersebelahan. Masa-masa di mana Damar masih asyik hangout dengan kakak-kakak kelas cheersleading yang diam-diam menyimpan debaran jantung untuknya, lalu dengan naif berpikir bahwa mereka murni berteman.

Pada sore mendung itu, Fio tidak bergelung di bawah selimut seperti kebiasannya, melainkan sibuk mengeruk permukaan tanah di bawah jendela kamarnya dengan sekop mini. Di sampingnya, sejumlah bangkai ikan mas koi yang telah mati karena lalai ia beri makan teronggok di atas selembar tisu.

"Sejak kapan lo pelihara ikan?" Damar belum melepas jersey basket bernomor sepuluh-nya. Sisa keringat sehabis latihan membuat ujung rambutnya lengket di permukaan dahi. Damar dulu memang bergabung dengan klub basket sekolah, menghabiskan beberapa jam ekstra sehabis waktu pulang untuk latihan di lapangan basket SMA Pembangunan tiga kali dalam seminggu.

Fio tahu, selama itu, Damar tidak sedang serius menggeluti basket. Ia tidak punya skill sehebat teman-temannya di klub, tidak memvorsir latihan sekeras yang lain, pun tidak pernah berambisi untuk terpilih sebagai tim inti dalam kompetisi tahunan. Tiap kali Fio mengejeknya cuma sedang buang-buang waktu sambil cari-cari kesempatan untuk flirting dengan anggota cheerseleader, Damar berdalih tidak ada yang buang-buang waktu tentang usaha menjadi lebih sehat dengan rajin olahraga.

"Disuruh Papa." Fio mencongkel batu besar yang tertanam di tanah dengan ujung sekop. Lubang galiannya masih terlalu dangkal. "Belum juga seminggu udah mati aja itu ikan."

Tepatnya lima hari yang lalu, Papa kembali membawa keluar akuarium ukuran sedang yang sebelumnya betah menghuni gudang, lengkap dengan aerator usang, dan hiasan kerikil yang entah ia dapat darimana. Papa membersihkan sendiri alat-alat itu kemudian merangkainya di samping teve. Berikutnya, Papa membawa pulang seplastik ikan mas koi kecil-kecil yang dibelinya di perjalanan dari kantor. Papa tiba-tiba menggedor pintu kamar Fio, memutuskan secara sepihak bahwa mulai hari itu tanggung jawab merawat ikan-ikan jatuh ke tangan Fio.

"Udah tau ikan kayak gini itu lemah, rentan, gampang koit, masih aja dibeli," omel Fio.

"Lo yakin ikan-ikan itu mati bukan karena lo lalai?"

Meski kata-kata Damar mengandung kebenaran mutlak, Fio tidak terima disalahkan begitu saja. "Ya, tapi kan, Mas, gue sibuk juga sama tugas-tugas dari sekolah, PR, nyanyi, bikin lagu sama lo. Lagian melihara ikan-ikan ini juga bukan keinginan gue, kan?"

Damar merapatkan kedua ujung tisu yang membungkus bangkai-bangkai ikan itu, lalu menyerahkannya kepada Fio untuk dimasukkan ke lubang di tanah. "Mungkin Om Sena pengen ngajarin lo tentang tanggung jawab."

"Tanggung jawab gue udah banyak kali." Sambil meratakan tanah kuburan mini di depannya Fio teringat akan tumpukan PR yang tak berkesudahan, ulangan harian yang berkejar-kejaran, juga jadwal manggung yang makin padat. Tidakkah Papa berpikir bahwa itu semua merupakan tanggung jawab yang sudah cukup berat?

"Atau mungkin sejak awal Om Sena udah tau kalo ikan-ikan ini akan mati dalam waktu dekat, supaya lo belajar merawat lalu kehilangan."

"Hah?"

"Iya, supaya lo belajar kehilangan dari hal-hal kecil dulu sebelum nantinya kehilangan hal-hal yang lebih besar."

Fio menatap Damar sampai matanya pedih. Mencari-cari jejak canda, tetapi cowok itu tampak serius.

About Hope |√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang