20. Mengenai Bentuk-Bentuk Duka

310 21 2
                                    

Ruben mengantarnya sampai ke halaman rumah yang lembab oleh gerimis. Sepanjang perjalanan dari pemakaman umum yang mereka tempuh dengan berjalan kaki, laki-laki itu tidak banyak bertanya. Hanya ketika hendak melepas Fio di depan gerbang yang setengah membuka, Ruben bergeming lama.

Laki-laki itu mengulurkan tangan untuk menyingkirkan sisa gerimis yang menggumpal di bahu Fio, yang tampak kontras oleh setelan serba hitam yang perempuan itu kenakan.

"Motor kamu mana, Ben?"

Fio menyapukan pandangan ke sekeliling, mengantisipasi Kawasaki hijau yang akan selalu ia asosiasikan dengan keberadaan Ruben.

"Saya tadi nebeng temen yang ngelawat Damar juga."

"Terus, pulangnya gimana?"

"Gampang, tinggal jalan sedikit terus lompat ke mikrolet."

Fio melangkah mundur, tangan Ruben terjatuh dari bahunya kemudian menggantung di udara kosong. Menyisakan sedikit hangat di pundak yang tersiram gerimis. "Saya masuk dulu ya."

Fio sudah memegang besi gelondongan yang membingkai gerbang rumahnya, hendak membentangkannya lebih lebar agar tubuhnya muat menyelinap masuk. Namun tertahan oleh Ruben dan suara putus asanya.

"Kamu selalu bisa nyuruh saya tinggal, Fio." Ruben mengulurkan tangan melewati lengan Fio, menahan gerbang yang hendak membuka. "Kamu cuma perlu bilang kamu butuh saya dan saya nggak akan kemana-mana."

Fio merasakan tubuh Ruben berdiri persis di belakang punggungnya. Cukup dekat hingga ujung sepatu kanvasnya menyentuh belakang sandal yang mengalasi kaki Fio, tetapi tidak terlalu dekat karena gadis itu tidak sempat mendengar degup jantungnya.

"Saya baik-baik aja." Fio sudah mengatakannya berulang kali, hingga ia tidak bisa memisahkan lagi antara kebohongan dan sebaliknya. Semua terasa wajar, terasa kabur, seperti kehilangan batas.

Fio menunggu ucapan Ruben selanjutnya. Meski rasanya ia sudah terlalu letih untuk mendebat. Namun cengkaraman Ruben di besi gerbang perlahan mengendur, sebelum lepas sama sekali. Tanpa sadar Fio meloloskan napas berat.

"Udah mulai sering gerimis, usahain untuk selalu mandi pakai air hangat. Saya pergi dulu." Setelahnya, terdengar bunyi teratur sol sepatu yang menggesek aspal basah. Lambat laun melemah dan hilang sama sekali.

Fio membentangkan salah satu sisi gerbang selebar tubuhnya. Menyelipkan diri, lantas mengikuti jalur setapak yang membawanya ke teras. Di undakan terbawah, ia menanggalkan sandal. Lantai terasa puluhan kali lebih dingin ketika diinjak dengan kaki telanjang. Fio membawa dirinya ke kamar mandi, diguyurnya kedua kaki bergantian hingga sisa-sisa lumpur di ujung jari-jarinya sirna.

Tanpa mengeringkan kaki di keset, Fio melangkah ke kamarnya. Menciptakan jejak-jejak air samar di sepanjang lantai yang ia lewati. Setibanya di kamar, ia membentangkan daun jendela lebar-lebar. Memasok sebanyak mungkin udara dari luar untuk mereduksi sesak. Ia menyeret kursi belajar ke samping jendela tingkap tanpa teralis yang menghadap lapangan basket, lajur rahasia tempat Damar biasa menyelinap masuk.

Teringat Damar membuat Fio menarik keluar laci meja belajarnya. Berbagi tempat dengan alat-alat tulis dan peralatan prakarya yang berantakan, terdapat puluhan kotak susu rasa melon yang entah terkumpul sejak kapan. Fio mengeluarkan semuanya, beserta sedotan plastik yang tercecer. Ia menumpuknya di pangkuan ketika kembali menempati kursi di belakang jendela.

Fio menusuk salah satu pelapis karton. Menyesap isinya melalui sedotan. Tidak sempat peduli akan tanggal kadaluarsa yang tertera. Yang ia tahu, susu-susu tersebut resmi tak berpemilik sejak kemarin. Jika ia tidak meminumnya, tidak akan ada lagi yang melakukannya.

About Hope |√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang