3. Mengenai Kotak Susu Tak Bertuan

787 57 8
                                    

Nggak punya jadwal update. Tapi semoga bisa sesering mungkin...


"Tan, lo mau nggak?" Fio menunjukkan sekotak susu rasa melon yang baru ia keluarkan dari tasnya. Di tengah aktivitasnya membereskan buku-buku pelajaran yang jamnya baru usai, Tania melirik sekilas kepada Fio beserta susu tersebut.

"Emang lo beli itu buat siapa?" Tania balik bertanya.

"Buat lo," kata Fio dengan senyum dibuat-buat.

Tania mengibaskan rambut lurusnya yang mengikal di ujung-ujung. "Perez!"

Fio tertawa, di mata orang-orang Tania terkenal sebagai tipe siswi centil yang tidak akan ragu menjadi pihak pertama yang mengungkapkan cinta pada masa PDKT dengan dalih emansipasi. Beruntung, ia memang dikarunia wajah putih mulus dan amat cantik berkat warisan gen italia ibunya. Jadilah, siswi-siswi yang membencinya harus berpikir serta mematut diri di depan kaca lamat-lamat sebelum merundung Tania.

Sementara di mata Fio, Tania hanyalah gadis yang percaya diri, yang sadar dirinya disukai, yang tau jelas arah tiap langkahnya. Dan, selama tujuan itu ada, ia tidak ragu untuk melakukan apa saja.

"Mau nggak?" tegas Fio sekali lagi.

"Ya mau lah, pake ditanya lagi." Tanpa ba-bi-bu lagi Tania menyambarr kotak susu dari tangan Fio. Melepas sedotan plastik yang menempel di sisi depan lantas menggunakannya untuk melubangi bagian alumunium di kotak susu itu.

"Ke kantin yuk," ajak Tania.

Menilik dari gerak-gerik Tania yang mulai sibuk membetulkan tatanan rambutnya, Fio mulai curiga. "Ogah. Bakal jadi obat nyamuk bakar cengo gue nanti kalo ngikut lo ke kantin."

Tania cengengesan hingga barisan giginya yang rapi terlihat. "Farel nanti sama temen-temennya kok, jadi lo ngikut aja. Sekalian nanti kenal-kenalan."

Farel. Anak baru dari Surabaya. Baru bergabung di klub basket, tinggi, dan punya wajah kebule-bulean. Dipastikan tidak lama lagi akan menyaingi Reksa dalam bursa cowok terpopuler. Dan, berhasil membuat Tania penasaran pada pertemuan mereka yang pertama di parkiran sekolah. Lalu entah seperti apa ceritanya--Fio tidak tahu dan tidak benar-benar tertarik untuk tahu--Tania dan Farel tiba-tiba saja sudah saling bertukar pesan whatsApp tiap malam, bertukar cerita melalui panggilan telepon hingga lupa waktu, dan Fio menebak tidak lama lagi akan segera jadian kemudian putus. Layaknya siklus yang sudah-sudah.

"Yaudah lo mau nitip apa?"

Fio teringat ia sudah menyetok dua bungkus sari roti dan sekotak sari kacang hijau di tasnya. Ia pun menggeleng sebagai jawaban. Dalam diam memandang punggung Tania yang bergerak heboh seiring langkahnya. Betapa dunia seolah-olah tak akan sanggup membuat keceriaannya raib.

Sementara di sisi lain, senyum dan keceriaan yang biasa Fio usahakan mati-matian untuk sekedar menunjukkan dirinya baik-baik saja telah lenyap sama sekali. Selama ini Fio mengira bahwa jika ia terus berpura-pura bahagia maka ia akan sungguhan menjadi bahagia, atau paling tidak menjadi baik-baik saja. Bahwa rasa sakit yang menggerogoti hatinya akan berangsur-angsur pulih.

Namun nyatanya teori itu sangat tidak tepat. Justru Fio sering kali terjebak dalam titik seperti sekarang ini. Saat ia merasa tertinggal dari orang-orang. Saat sekelilingnya gaduh tetapi ia dilingkupi kesendirian. Saat ia terengah-engah oleh rasa lelah tak terjelaskan. Saat ia mendadak terdiam lantas bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang terjadi? Apa yang sebenarnya dia lakukan? Kapan segalanya akan membaik dan lebih mudah?

Waktu tidak pernah berhenti. Hanya Fio sendiri yang tak mampu lagi bergerak mengikuti alurnya. Ia terjebak dalam kekosongan, dalam rentetan kebohongan panjang. Faktanya, ia selalu sakit setiap kali mengingat Damar. Dan setiap detiknya ia tidak pernah bisa untuk tidak mengingat Damar. Maka yang terjadi adalah ia kesakitan sepanjang waktu, tersiksa sepanjang waktu, merindu sepanjang waktu.

About Hope |√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang