22. Mengenai Awal yang Baru

318 24 0
                                    

"Kok tiba-tiba diem?" Cara Reksa memindai Faiz dan Ridwan bergantian terasa mendesak. Kedua tangannya yang disembunyikan ke dalam saku celana abu-abu memberi kesan intimidatif, lalu cara bicaranya seperti tidak berasal dari seseorang yang telah Mayang kenali sejak beberapa bulan lalu.

Tadinya, Faiz dan Ridwan adalah dua dari sekian banyak massa yang turut menyemarakkan kantin dengan cara yang salah. Di meja yang ujungnya menempel dengan dinding kaca pembatas kantin, Faiz menggenjreng ukulele yang ia bawa dari rumah dengan heboh. Suaranya yang sumbang menerobos keluar melalui pintu geser yang terbuka. Terdengar sampai kelas terjauh bersama pekik para gadis yang meributkan murid-murid putra idolanya. Kini, bersama kehadiran Reksa, keseluruhannya terhenti.

"Nyanyi lagi dong, mau request gue." Reksa menarik keluar salah satu kursi dari kolong meja. Ia duduk di samping Ridwan, berseberangan dengan Faiz.

Faiz dan Ridwan saling melempar pandang. Seperti melakukan telepati.

"Udah masuk sekolah aja nih Si Bos." Ridwan mengeluarkan tangannya untuk merangkul bahu Reksa, tetapi dari sudut pandang Mayang sekarang, rangkulan itu menyisakan renggang. Seolah Ridwan melakukannya dengan hati-hati, seolah di balik seragamnya, kulit Reksa menyimpan luka-luka menganga yang akan kembali berdarah oleh sentuhan.

"SPP makin mahal, kalo bolos lama-lama keenakan gurunya." Reksa mengeluarkan lintingan tembakau yang ia beli eceran dari Bang Nando ketika memarkir motor tadi pagi. Mengode pemantik yang ia tahu selalu terselip di saku celana Faiz.

Sambil mendorong pemantik isi ulang di permukaan meja, Faiz berdecak. "Mentang-mentang rambut udah aman dari guru BK, sekarang cari gara-gara mau nyebat di lingkungan sekolah."

"Nyebat juga aman asal nggak ketahuan." Reksa mengisap rokoknya yang baru dibakar dalam-dalam, jika Mayang mau mendekat ia akan mendengar bunyi siul lirih. "Eh, sini, May, berdiri aja, pegel lo nanti." Reksa mengeluarkan sebuah kursi lain dari bawah meja.

"Gue pesen makanan dulu, sekalian mesenin Fio juga, lo mau apa, Sa?"

Reksa meloloskan asap putih dari mulutnya sebelum menjawab. "Mi goreng aja, tambahin telur mata sapi sama kornet."

"Gue nitip kopi panas ya, May," tutur Faiz, padahal persis di hadapannya gelas kopi masih menyisakan beberapa teguk cairan hitam. "Buat amunisi kalo yang ini habis."

Mayang memutar bola mata, tetapi tetap memesankannya juga. Selagi menunggu pesananannya dibuat oleh salah satu penjual di kantin, Mayang memanfaatkan jarak untuk mengawasi Reksa dan teman-temannya di ujung sana. Sejak pagi tadi berpapasan dengan Reksa dan Fio di depan, Mayang merasakan ada yang berbeda dari laki-laki itu.

Perbedaan yang tidak hanya menyangkut tentang rambutnya yang baru dipangkas habis dengan potongan yang tidak simetris di beberapa bagian. Meski pada dasarnya hal itulah yang paling mencolok. Tanpa rambut gondrong yang nyaris setiap saat berlapis wax rambut kebanyakan, profil wajah Reksa jadi tampak lebih segar, lebih tajam, lebih mencolok. Kedua mata coklatnya jadi tampak lebih terang, khususnya jika cowok itu berdiri di bawah siraman cahaya matahari. Sepasang bahunnya tampak lebar, dengan kesan siku di kedua ujungnya.

Perbedaan-perbedaan yang lain mungkin tidak ditangkap oleh gadis-gadis yang membicarakannya dua kali lebih banyak dari biasanya di sepanjang selasar tadi. Tidak ditangkap oleh Faiz dan Ridwan, tetapi Mayang melihat semuanya sejelas melihat sekeping batu di dasar kolam jernih.

Perhatian Mayang terputus oleh Pak Abdul yang menyerahkan nampan plastik berisi tiga piring indomi dan kopi hitam di gelas bertangkai kepadanya. Setelah menggantinya dengan dua puluh ribuan yang sisa kembaliannya akan diambil nanti, Mayang membawanya ke meja di mana Faiz, Reksa, dan Ridwan berada. Bernyanyi diiringi genjreng ukulele dengan notasi berantakan.

About Hope |√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang