25. Mengenai Lukisan Istimewa

302 23 0
                                    

Perubahan besar selalu berangkat dari hal-hal kecil yang tiba-tiba saja sudah tak sama lagi.

Reksa membongkar lipatan easel dan mendirikannya di tepi aspal. Di bawah naungan pohon trembesi yang bayang-bayangnya menyebar melindungi cowok itu dari sengatan matahari pukul sepuluh pagi. Mayang membantunya membongkar peralatan melukis dari dalam tas gunung yang menggembung. Menuangkan cat minyak ke dalam relung-relung palet.

Halaman depan Museum Fathahilah pada Minggu pagi tidak pernah sepi. Kelompok-kelompok kecil dan besar menyebar ke berbagai sudut, berpikinik di atas trotoar berdebu. Bergantian menjulurkan tangan ke dalam kotak-kotak makanan yang tutupnya telah dilepas, telibat dalam pembicaraan semarak tak habis-habis. Sementara anak-anak kecil berlarian di antara gelembung-gelembung sabun yang menguraikan spektrum sinar matahari —hasil tiupan mereka sendiri.

Ketika memosisikan kanvasnya yang masih bersih di atas easel, sekali lagi, Reksa memastikan calon objek lukisannya yang berjarak beberapa meter di depannya; seorang pantomimer berusia awal empat puluhan dalam jas hitam dan wajah terlukis warna putih. Kedua tangannya yang dibungkus sarung tangan melar tak henti-henti bergerak. Beberapa pengunjung yang hendak masuk ke museum berhenti sejenak di depannya, memerhatikan gerak dan ekspresi yang disampaikan tanpa kata-kata, lalu melemparkan koin ke dalam kaleng bekas yang tergeletak di dekatnya.

Beberapa kali datang ke mari, Reksa tak pernah melihat kaleng itu terisi penuh.

Reksa meinggalkan Mayang beserta alat-alat lukisnya sejenak. Menghampiri pantomimer jalanan tersebut. Ia memasukkan lima puluhan ke dalam kaleng yang disambut dengan tangkupan tangan tanda rasa terimakasih tak terhingga dari sang seniman jalanan. Dari sorot haru di kedua matanya, Reksa menilik jumlah sebesar itu amat jarang didapatkannya.

Senyum Reksa terkembang, ia menunjuk kanvas di belakangnya. Si pantomimer membentangkan kedua tangan lebar-lebar. Setelah mengantongi izin, Reksa pun undur diri untuk memulai pekerjaannnya.

"Dibolehin kan?" Saat Reksa kembali ke depan kanvas, Mayang sedang melepaskan tutup kotak makan berisi irisan mangga besar-besar bertabur bongkahan es batu.

"Boleh, dong." Reksa melipat kaki di atas pavingblock yang terasa keras. Lalu mulai mencampur cak minyak. "Kan gue ganteng."

"Nggak ada hubungannya lageee."

Memang tidak ada, Reksa hanya suka cara Mayang mendumal dan mengatainya terlalu PD. Ah, bukan, Reksa suka kedua pipi Mayang yang bersemu kemerahan karenanya, lalu pura-pura mengomel dalam upaya meredam salah tingkahnya sendiri.

"Waktu kemarin lo bilang mau melukis di kota Tua, gue agak skeptis sebenernya. Maksudnya, pasti orang-orang yang mendapat inspirasi buat melukis di sini juga udah banyak. Tapi ternyata lo punya objek dan sudut pandang tersendiri, dan ini lumayan bagus."

Reksa urung melanjutkan goresannya membuat sketsa. Melengos kepada Mayang. "Kenapa sih muji aja harus nanggung begitu. Lumayan? Yang bener aja."

Ia mendengar Mayang terkikik. Lalu irisan mangga kekuningan yang menancap pada ujung garpu disodorkan di depan mulutnya. Irisan itu cukup besar, berserabut pada sebagian sisinya, rasanya yang manis diperkuat oleh warna kekuningan cenderung oranya. Namun Reksa urung menyambarnya, hingga tangkai garpu itu pun berguncang.

"Iya-iya, bagus banget, unik."

Ketika mengunyah mangga tersebut, Reksa tak menemukan masam sedikit pun. "Gimana?" tanya Reksa begitu sketsa terbentuk. Ia bersiap memilah-milah kuas.

Ada jeda ketika Mayang mengamati sketsanya di atas kanvas. Seorang pantomer yang sedang menyentuhkan ujung jari pada sebentuk bola sabun yang menghinggapi lengannya, dengan latar halaman depan museum yang kosong. Sketsa tersebut masih mentah, tetapi Reksa bisa merasakan rasa sepi dari segala sesuatu yang tertuang di sana.

About Hope |√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang