15. Mengenai Kehilangan

370 27 0
                                    

Tujuh belas jam perjalanan kereta api rupanya lebih menyakitkan dari yang Reksa kira. Meski menghabiskan hampir dua pertiga durasi untuk tidur, lalu mendapat bonus pemandangan luar biasa indah ketika terjaga, tetap saja ia tidak bisa memungkiri tulang belakangnya yang ngilu-ngilu, atau tungkai kakinya yang perlahan mati rasa. Dua jam sebelum kereta berhenti di Stasiun Kota Baru Malang dan perjalanan panjang ini resmi berakhir, Reksa terbangun.

Reksa merentangkan kedua tangannya ke depan, hendak melenturkan otot-otot tubuhnya, tetapi terhalang oleh kepala Fio yang melemas di salah satu bahunya. Sedang lelap diiringi dengkur halus. Reksa tidak akan pernah tega membangunkannya.

"Masih lama kok, Sa, lo tidur lagi aja." Suara itu asalnya dari seseorang yang duduk di dekat jendela. Satu kursi dengannya, hanya dibatasi tubuh Fio yang berada di antara mereka.

Reksa memandang Mayang, lalu beralih pada kaca jendela yang terselaputi embun hingga menghalangi pemandangan dari luar. Yang mampu Reksa tangkap hanya kelebatan bayangan warna-warni. "Pusing, May, dari tadi tidur terus."

Tawa Mayang menengahi dengkur mayoritas penghuni gerbong tempat mereka berada. Pukul setengah empat pagi. Kereta melaju kencang, konstan, dengan deru mesin yang khas. Sementara udara dingin menggigilkan tubuh. "Iya dari kemarin lo emang kayak kebo."

"Kapan terakhir kali lo ke Malang, May?"

Mayang mengerling Reksa sebentar. Sejak kemarin ketika ajakan untuk berkunjung ke kampung halaman keluarga Ibu Mayang dituturkan, perempuan itu belum menjelaskan terlalu banyak. Ia hanya berkata hendak memperingati delapan tahun meninggalnya sang adik. Setelah itu mereka diburu waktu untuk secepatnya memesan tiket dan mengepak barang sampai lupa untuk membahas hal yang lebih penting.

"Lebaran kemarin kayaknya, sama Ayah-Ibu." Mayang kembali memandang jendela berkabut. Menyisakan rambutnya yang kehitaman untuk dipandangi Reksa. "Padahal Malang tuh nggak jauh-jauh banget tapi kami sempet ke sananya cuma setahun sekali."

"Kalo sekarang, orang tua lo bakal nyusul nggak?"

Bahu Mayang mengedik. "Nggak tau." Mayang menyerah kemudian. "99 persen nggak akan nyusul. Gue juga nggak setiap peringatan meninggalnya Adek ke Malang kok. Cuma sekarang lagi pas long weekend aja, jadi pengen ziarah, sama sekalian bantuin Simbah masak buat kendurian."

"Wah, banyak makanan dong nanti," kelakar Reksa. Budaya kendurian semakin jarang ia temui sekarang, terutama di Jakarta, hendak menemukannya kembali seperti menyuntikkan sesuatu ke dalam diri Reksa. Semacam semangat nostalgia.

"Banyak, tapi bukan buat lo." Mayang menimpali sama gelinya.

"Lo suka Malang, May?"

Mayang mengangguk tanpa ragu. "Suka banget. Enak, dingin, bisa hemat listrik karena nggak perlu nyalain AC. Waktu Ayah mau dimutasi ke Jakarta, gue sempet nolak buat ikut, gue mau tinggal di rumah sama Simbah aja, tapi Ayah sama Ibu kekeh buat maksa gue ikut. Ya, gue ngerti sih, setelah Adek nggak ada, gue satu-satunya anak mereka. Kami nggak seharusnya jauh-jauhan."

Percakapan mereka terhenti di sana. Gerak kereta melambat bersamaan dengan diumumkannya pemberhentian selanjutnya. Reksa menepuki sebelah pipi Fio yang tidak menempel dengan bahunya. Terasa dingin. "Udah mau nyampe, Fi."

Beban di bahu Reksa menghilang seiring Fio yang mengangkat kepalanya. Gadis itu mengeluhkan bahwa ia baru tertidur sebentaaar sekali dan tidak seharusnya Reksa membangunkannya.

"Yaudah kalo lo nggak mau turun, ngikut aja kereta sampe antah berantah."

Fio merengut. Reksa menurunkan satu persatu bawaan mereka dari rak besi di atas kursi penumpang. Lalu menyandangkan tas gunungnya sendiri ke bahu. Mereka berjalan menuju pintu keluar lalu melompat turun ketika kereta berhenti total. Stasiun penuh dengan orang-orang yang yang menunggu kereta keberangkatan, juga dengan mereka yang baru menyudahi perjalanan seperti halnya Reksa, Fio dan Mayang. Namun tidak banyak bising yang terdengar selain dari mesin kereta dan belnya yang memekakkan telinga. Hawa dingin cukup ampuh membius orang-orang. Di bangku-bangku tunggu calon penumpang duduk menahan kantuk dengan badan dibungkus pakaian tebal.

About Hope |√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang