23. Mengenai Pengakuan yang Diterima

329 25 2
                                    

Lengkingan klakson mobil membuat Reksa melongokkan pandangan melewati sela-sela teralis besi di antara dua bilah jendela yang memisah ke dua sisi berbeda. Sejauh ini tak pernah ada tamu yang ketika berkunjung repot-repot membunyikan klakson dengan intensitas tinggi dan norak seperti itu.

Di balik gerbang rendah yang bahkan sudah tersingkap membuka, SUV kuning menepi, deru mesinnya terdenger dari tempat Reksa berada. Sesaat setelah deru itu padam bersama lampu di bagian depan, pintu sopir berayun membuka, memuntahkan sosok mungil Mayang yang segera berlari-lari kecil di sepanjang jalan setapak.

Sebelumnya, Reksa bahkan tak pernah menyangka gadis itu bisa mengenderai mobil, atau motor, atau bajaj, atau jenis kendaraan apa pun.

Di bawah, percakapan singkat antara Ibu dan Mayang terdengar. Tidak terlalu jelas, tetapi Reksa menangkap namanya turut dilibatkan. Reksa mengenakan kaus yang tadi ia tanggalkan karena gerah, lalu menuruni tangga tepat ketika Ibu meneriakkan namanya.

Sesampainya di ruang tengah, Reksa bahkan tak sempat memperhatikan Mayang, atau Ibu, sebab atensinya direnggut paksa oleh tumpukan kardus di samping sofa. Kardus-kardus yang identik, yang di dalamnya memuat pakaian, buku-buku, serta benda-benda peninggalan Damar. Selama ini, kotak-kotak itu betah menyesaki gudang, dan Reksa pikir selamanya akan begitu.

"Semua ini mau dikemanain?" Reksa menyelesaikan dua jenjang tangga yang tersisa di depannya. Nada tajam yang terselip murni ketidaksengajaan.

Ibu menggenapkan jumlah kardus menjadi empat biji dengan beban terakhir di kedua lengannya. "Kalo dibiarin di gudang terus nanti rusak. Kalo bisa jadi manfaat buat orang lain, kenapa harus ditelantarkan?"

Sejauh yang Reksa tangkap benda-benda itu akan disingkirkan. Entah dimuat oleh kendaraan bak terbuka untuk dibawa ke tempat yang jauh, atau dibagikan kepada orang-orang di sekitar komplek.

Ibu membaca raut tanya di wajah Reksa. "Gitar, buku-buku musik, jersey basket Damar, masih aman di kamarnya."

"Ayo, Sa." Mayang mengerling kepadanya. Lalu mengambil salah satu kardus, menumpukannya di dalam rengkuhan kedua lengannya yang kecil.

Reksa tak benar-benar sadar apa yang ia lakukan, kaki dan sisa badannnya yang lain bergerak sendiri karena tak tega membiarkan Mayang mengangkut keseluruhan kardus sendirian. Tiap-tiap kardus memiliki beban yang berbeda. Ada yang terlalu ringan sampai Reksa tidak perlu mengerahkan tenaga terlalu banyak. Setiap kali langkahnya berayun, kardus ringan itu berbunyi, benda pecah belah di dalamnya membentur dinding kardus, membuat otak Reksa berputar menebak-nebak isinya.

Begitu seluruh kardus telah berpindah ke dalam bagasi mobil Mayang. Cewek itu menyuruh Reksa duduk di kursi penumpang.

"Gue ganti baju dulu ya."

"Enggak usah, kita cuma ke deket sana kok."

Alhasil, Reksa membiarkan dirinya diangkut ke sebuah tempat yang katanya cuma ke dekat sana itu, dalam balutan pakaian rumahan. Jeans belel yang dipangkas sampai lutut dengan serat-serat benang terburai ditambah jersey MU KW super yang biasa dijajakan di pasar malam, yang warna aslinya meluntur sebab terlalu sering dicuci. Satu-satunya yang terasa tidak buruk-buruk amat, mungkin karena Reksa masih sempat menyelipkan ponsel ke dalam saku.

Mayang menyetir dalam kecepatan teratur. Caranya berkendara tampak sedikit rikuh, cewek itu seringkali menginjak rem terlalu awal, ragu-ragu ketika hendak menyalip kendaraan di depannya, terlambat menyalakan lampu sein, serta beberapa kecanggungan lain yang membuatnya tampak amatir.

"Mau gue aja yang nyetir?" tawar Reksa. Di kepalanya sendiri ada semacam pertunjukan kacau yang membelah-belah konsentrasinya. Namun ia masih yakin bisa menyetir lebih baik dari yang Mayang lakukan.

About Hope |√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang