Skors dua harinya Reksa manfaatkan dengan semaksimal mungkin. Ia bangun tiga jam lebih lambat dari biasanya. Makan lebih banyak, bermalas-malasan di depan TV sampai siang, menunggui Damar saat malam hari, dan tidur lebih larut untuk menyelesaikan proyek lukisan terbarunya.
Tepat pada hari di mana ia pulang sekolah dalam keadaan muka benjut dan tertambal plester, ia langsung menemui Bapak. Menyerahkan surat panggilan orang tua dan menggeret Fio untuk bersaksi bahwa Reksa tidak terlibat tawuran atau semacamnya. Bapak adalah sosok Damar dalam versi lebih tua. Selalu tenang dan cenderung tak tertebak.
Ketika pertama kali melihat wajah Reksa, Bapak tampak cemas. Namun menahan diri bertanya lebih lanjut dan memilih untuk mendahulukan membuka surat dengan amplop yang disemati kop SMA Pembangunan. Reksa duduk diam di depan Bapak bersama Fio di sampingnya. Ruang tengah mendadak lebih senyap dari yang seharusnya. Sementara waktu berjalan puluhan kali lebih lambat. Seperti tertatih, bahkan merangkak.
Sambil membetulkan kacamata bacanya yang melorot, Bapak memandang Reksa sepenuhnya. Ia letakkan surat dari sekolah di atas meja dalam keadaan membuka. Urat nadi di wajah Bapak berkedut, ia seperti hendak mengucapkan sesuatu bernada tinggi. Namun kemudian yang lepas dari bibirnya hanya sepotong pertanyaan, apa yang terjadi?
Saat itu Reksa tidak takut dimarahi. Baginya ia tidak salah, maka ia tidak takut kepada siapa pun. Tidak peduli lebih tepatnya. Akan tetapi ia tidak bisa tidak peduli terhadap perasaan Bapak. Ia tidak pernah ingin mengecewakan Bapak apa pun alasannya.
"Saya berantem sama teman, Pak," ucap Reksa lirih. Pandangannya tertunduk kepada meja kaca yang terlapisi debu. Ketiadaan Mbak Marni mulai memunculkan dampak yang signifikan. Kenyataan menamparnya. Fio benar, kedua orang tuanya sudah cukup repot. Sudah terlalu banyak beban yang bertumpuk di kedua bahu Bapak yang kian ringkih digerogoti usia. Harusnya ia tidak perlu membuat ulah.
Bapak menumpukan kedua tangan di atas lutut. Ketika tangan itu terangkat celana bahannya berjejak basah. "Kamu yang mukul duluan?"
Reksa mengangguk. "Maafin saya, Pak." Reksa tidak meminta maaf karena telah memukul Denis. Ia meminta maaf karena pada akhirnya ia terpaksa menyeret Bapak masuk dalam lingkar permasalahan. Menambah beban pikirnya, menambah berat sekian tanggung jawab yang sudah berkelindan tak keruan di punggungnya.
"Kamu minta maaf, itu artinya kamu merasa kamu memang bersalah?"
Fio berhenti menggigiti bibir. Lalu menjalankan tugasnya. "Dia cuma belain saya, Om. Di sekolah tadi ada cowok yang kurang ajar sama saya."
"Benar, Reksa?"
Lagi, yang Reksa berikan adalah anggukan. "Bapak boleh nggak dateng ke sekolah kalo memang nggak mau atau nggak bisa?"
"Terus biarin kamu di-skors selamanya, begitu? Enak di kamu jadinya." Reksa tak paham apakah gestur Bapak sudah dapat digolongkan sebagai canda. Hanya saja, saat itu Reksa mulai berani mengangkat kepalanya. Mempertemukan matanya dengan milik Bapak. Bapak tidak tersenyum, tetapi di kedua matanya ada semacam sorot jenaka.
Bapak mungkin tidak seperti Ibu yang bebas menyuarakan segala isi hatinya. Yang mudah tertawa akan hal-hal kecil bahkan guyonan-guyonan tak lucu. Yang akan selalu membela anak-anaknya. Tidak keberatan untuk melabrak orangtua anak-anak yang bertengkar dengan Reksa sewaktu kecil dulu. Namun, Reksa tahu, Bapak selalu bersikap koopreatif selama Reksa memang pantas untuk dibela.
"Besok Bapak sempatkan ke sekolah kamu. Sekarang istirahat. Sudah berobat, kan?"
Reksa mengacungkan kantung keresek berisi resep obat dari dokter. Lalu membiarkan Bapak berlalu. Ia sendiri beringsut ke kamar setelah menyuruh Fio pulang. Malam itu Reksa membanting tubuhnya ke kasur dan tidak bangun sampai hampir tengah hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Hope |√
Teen Fiction[TAMAT] About Hope - Mengenai Harapan Yang Tak Padam Damar dan Reksa itu berbeda. Begitulah yg Fio simpulkan setelah menghabiskan seumur hidupnya untuk bersahabat dengan mereka. Meski kakak beradik, fisik mereka tak sama, kepribadian mereka berlain...