Epilog

848 39 4
                                    

Fio lupa kapan tepatnya ia mengunjungi galeri besar ini. Mungkin enam bulan lalu pada salah satu pameran rutinnya tiap tiga bulan sekali. Kini, saat mengunjunginya lagi tempat ini sudah terasa jauh berbeda. Mungkin, karena pameran akhir tahun selalu melibatkan lebih banyak karya-karya besar, memunculkan lebih banyak nama-nama baru, dengan pengunjung yang membeludak puluhan kali lipat lebih banyak. Mungkin karena sekarang, ia sedang punya misi yang berbeda. Bukan sekedar menemani Reksa mengunjungi surga dunia yang tak bisa Fio miliki, tetapi untuk menyatakan perasaannya.

Fio mengusap peluh yang merembesi pipi. Sejak turun dari mobil Grab tadi, peluhnya tiba-tiba mengucur tak terkendali, tidak hanya di wajah, juga di sekujur tangan dan telapak kaki. Gadis itu membetulkan tali gitar di bahunya, sebagai bentuk keyakinan pada diri sendiri, bahwa ia tak akan mundur atau berlari-lari lagi.

Gadis itu menyeberangi lajur berlapis paving block berkapasitas lima orang, membentang sepanjang jarak dari gerbang ke pintu utama berupa kaca gigantis dengan ornamen tanaman rambat melilit kusen. Lampu-lampu serba putih, serba menyakitkan mata jika ditatap langsung dengan mata telanjang menyambutnya. Di antara lautan orang di dalam pakaian-pakaian terbaik mereka, Fio merasa insecure. Ia tahu dirinya juga memakai pakaian yang layak, tetapi rasa tersesat itu hadir begitu kuat.

Fio menyelipkan diri di antara kelompok-kelompok kecil yang meriungi lukisan-lukisan yang dipajang dengan pendampingan seorang kurator, yang entah sudah berapa lama terus berbicara tanpa tanda-tanda akan segera berhenti. Gadis itu terus mencari sosok tinggi kurus itu, dengan potongan rambut cepak tak rata, barangkali dalam balutan jas yang terlalu longgar di tubuh, atau pantofel hitam mengkilat terselaputi semir yang baru kering.

Namun, tidak. Ketika menemukannya untuk pertama kali, Reksa tidak sedang berada dalam pelukan jas formal, atau sepatu pantofel, atau dasi monokrom yang menggantungi leher. Laki-laki itu tampak seperti biasanya. Celana jeans kebesaran, kemeja panjang yang menekuk sampai siku; memaparkan tungkai lengannya yang putih kemerahan, helai-helai rambutnya rebah dengan sisiran kelewat rapi. Fio bisa mengenali hanya dari sisi samping, bahkan mungkin dari belakang.

Fio terpaku sebentar di tempatnya, untuk mengatur napas dan merasakan dorongan kuat untuk mengucap syukur. Pada saat itu, Reksa maju satu langkah untuk menyalami seorang laki-laki paruh baya yang menyapanya. Celah yang tercipta membawa mata Fio mengenali sosok yang tadi berdiri di samping Reksa; Mayang. Fio tak bisa mendeskripsikan sosoknya selain menyederhanakannya dalam wujud seorang peri kecil.

Lalu, dunia yang tadi terasa macet sehingga Fio bebas mengarang-ngarang kisah sendiri, kini kembali berputar. Menjejalkan segala realitas tanpa ampun. Memang pada proporsi itu segalanya berada pada tempat yang setepat-tepatnya. Gagasan akan ia dan Reksa yang belajar memulai kisah baru kini terasa lebih salah dari apa pun.

Namun, sebelum Fio resmi kalah. Mayang menyingkir menuju meja kudapan di ujung ruang. Ruang kosong yang ditinggalkannya membuat Fio mampu memandang langsung lukisan yang tadi berada di belakang tubuh gadis mungil itu. Sesuatu membawa Fio berani mendekat, selangkah demi selangkah, sepetak tegel demi sepetak tegel, hingga tangannya tahu-tahu saja sudah menyentuh permukaan kanvas gigantis tersebut. Merasakan serat-serat halus yang menebal oleh cat minyak.

"Iya, itu lo," Suara Reksa yang merdu, aroma pappermint yang sejuk kini melingkupi tubuh Fio. Merasa hanya dengan kedua hal itu ia bisa terus bertahan hidup.

"Ini indah banget, Sa." Lebih indah dari wujud aslinya, lebih terang, lebih bercahaya, lebih hidup.

"Suatu saat lo juga akan seindah dia. Gue akan menemani lo berproses sampai lo jadi seindah itu."

Fio tidak yakin. Cahaya di dalam hidupnya tak pernah hadir terlalu lama, tak pernah cukup terang untuk selalu membuatnya bahagia.

"Nanti, saat lo berani mencintai lagi, saat lo berani membahagiakan diri lo sendiri, dan berani menyebarkannya ke orang-orang di sekeliling lo. Saat lo berani menulis lagu yang benar-benar lo sukai lagi. Saat lo berani menyanyikan lagu dengan jujur, dengan hati, lo akan seindah dia. Bahkan mungkin jauh lebih indah dari yang mampu gue lukis."

Reksa menghentikan gerakan tangan Fio yang memutari kanvas, membungkusnya erat di dalam tangan besarnya yang hangat. Ketika memeringkan kepala untuk mempertemukan matanya dengan milik Reksa, ia menemukan bayangannya sendiri. Seorang gadis dengan senyum ragu-ragu. Ia juga melihat senyum teduh milik Damar, mendengar denting gitar terakhirnya, menghirup aroma cologne yang kian pudar dari ingatan.

Sesuatu yang Fio ketahui mengenai hati yang pernah patah adalah,  bahwa kita tidak akan pernah bisa merekatkannya kembali dengan sempurna. Namun, Fio ingin mencoba. Ia ingin mencari keping yang paling besar, lalu menyerahkannya kepada Reksa. Berharap masih dapat memulai sesuatu dari sana. Berharap kepingan itu masih cukup lapang untuk menampung seluruh cinta yang mungkin akan ia terima.

Mungkin Damar tidak akan keberatan. Mungkin, masih ada yang bisa bermula. Mungkin mereka masih punya kesempatan itu.

Pada detik di mana Reksa tersenyum lebar, mengangguk penuh keyakinan, Fio berhenti membicarakan kemungkinan. Ia sudah memilih, sejak lama.

Reksa merangkulkan lengannya ke bahu Fio. Menggiringnya menuju meja persegi panjang tanpa taplak yang menampung begitu banyak kudapan. "Laper banget gue, tegang dari tadi lo nggak dateng-dateng."

"Emang lo yakin gue bakal dateng?"

"Yakinlah. Gue selalu percaya lo akan milih gue."

"Gimana mau milih, lo aja nggak pernah bilang apa-apa ke gue."

"Tapi akhirnya lo ke sini juga kan?"

Benar. Pada akhirnya Fio berada di sini sekarang. Menyeberang ke dalam dunia di mana ia akan terus belajar. Belajar mengenal lukisan, belajar mengenal Reksa. Mengupas segala sesuatu tentangnya yang tak akan pernah selesai untuk dipahami. Seperti menyelesaikan pekerjaan rumah yang susul menyusul. Tak apa, Fio bahkan berharap memang tak pernah ada kata selesai.

Beberapa langkah dari meja prasmanan. Fio bertemu mata dengan Mayang, yang tersenyum tak kalah lebar sambil mengacungkan jus jeruk di dalam gelas berkaki tinggi. Di sampingnya, Malik tersenyum canggung. Menyembunyikan sebentuk mawar di dalam kantung celana.

Baru Fio sadar, bahwa dirinya dan Reksa juga perlu mengonfirmasikannya ke dalam kata-kata. Maka, dalam langkah yang tinggal tak seberapa, tanpa bunga, atau lagu romantis, atau petik gitar, Fio membisikkan tiga kata itu. Sepenuh hati. Ketika Reksa merapatkan tubuh mereka lebih dekat, persahabatan rumit itu, resmi bermanuver ke arah yang sama sekali berbeda.

-Selesai-

About Hope |√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang