16. Mengenai Kekalahan

351 27 0
                                    

Sebelum melepas cucu sekaligus dua tamunya yang lain, Simbah menyiapkan makan siang dengan menu empat sehat tanpa dessert. Menatanya dalam perabotan-perabotan terbaik di meja makan. Reksa sudah rapi dalam kemeja dan celana jeans berlubang di bagian lutut, begitu pun dengan Mayang dan Fio yang bahkan sudah mengenakan jaket. Mereka bertiga mengisi kursi-kursi yang melingkari meja makan, sementara Simbah duduk di ujung. Seperti kepala keluarga yang memimpin anggotanya makan bersama. Tas gunung mereka sudah terparkir di teras agar mudah diangkut ketika nanti taksi online menjemput.

"Maaf ya, Mbah kemarin terlalu sibuk mengurus acara kendurian sampai belum sempat cerita-cerita dengan kalian. Lha kok, sekarang sudah mau mbalek saja," kata Simbah dalam bahasa Indonesia yang sarat logat Malangan. Wanita tua itu hanya meletakkan sepucuk centong nasi dan sepotong perkedel ke piringnya, makannya kali ini hanya sebatas formalitas.

Reksa pun tanpa sadar melakukan hal yang sama seperti Simbah. Isak tangis Mayang beserta kisahnya tadi pagi masih membekas dalam-dalam di kepala dan hatinya. Menekan selera makannya hingga yang terdapat di piring keramiknya sekarang hanya sedikit nasi dan sepotong ayam balado sisa kendurian yang telah dihangatkan.

Menanggapi perkataan Simbah Fio dan Reksa kompak melempar senyum.

"Kami yang minta maaf karena ngerepotin, Mbah," kata Fio dengan nada bicara lemah lembut.

"Enggak, enggak repot. Malah Mbah senang Mayang punya teman di Jakarta sana. Biar nggak sedih terus-terusan setiap ingat Tsania."

Mayang menatap Simbah sekilas di tengah aktivitasnya menyuapkan nasi ke mulut. Ia tampak terganggu dengan apa yang diucapkan Simbah, tetapi kemudian menyembunyikan wajah dengan menunduk menekuri piring. "Namanya juga adek sendiri."

"Iya, selamanya juga adikmu, tapi kan kamu juga harus ..."

"Harus bisa ikhlas, harus terus maju, belajar yang rajin, ngejar yang aku mau, sampe hapal aku, Mbah." Mayang mengucapkannya dengan nada bercanda, tetapi sorot matanya meredup. Seperti halnya dirinya sendiri, Reksa tahu, Mayang tidak pandai berpura-pura.

Mayang menelungkupkan sendoknya di atas piring yang masih menyisakan sedikit sambal goreng tahu. "Fi, kayaknya buku sketsa gue ketinggalan di kamar deh, temenin ambil yuk."

Fio yang juga baru saja mengusaikan makanannya, bangkit untuk menyertai Mayang.

"Sudah selesai, Nak?" Reksa tersadar makanan di piringnya telah tandas, lantas mendorong benda keramik tersebut ke tengah meja. "Ayo, Mbah temenin ke depan."

Reksa mendorong kursinya ke belakang diiringi suara decit lirih. Ia bangkit lalu mengikuti Simbah yang telah melangkah terlebih dahulu. Terbungkus kebaya hijau tuska dan jarik, Simbah tampak makin kecil jika dilihat dari belakang. Langkahnya lambat-lambat, membuat Reksa sesekali harus berhenti agar tidak mendahului.

Simbah tiba-tiba berhenti di ruang tamu, ia mengambil bingkai foto yang berdiri di buffet tua. Reksa ikut berhenti di samping Simbah. Menantikan apa pun yang akan terjadi.

"Ini, adiknya Mayang, Nak." Simbah menunjukkan objek di dalam foto itu. Seorang gadis cilik berdiri membelakangi mural buku-buku yang Reksa ketahui sebagai salah satu dinding di TK Ceria, rambutnya yang menipis dikumpulkan di kedua bahu, masing-masing berkelindan membentuk kepang rapi yang diikat karet mermotif garis monokrom. Sepasang matanya besar dan tampak bersinar-sinar. Tubuhnya sendiri tenggelam di balik toga hitam kebesaran dan buket bunga mawar. Sementara bibirnya yang mungil terpulas lipstik merah darah. Rasanya, seperti melihat Mayang dalam versi mini.

"Dulu, dia minta diwisuda lebih dulu daripada teman-teman TK-nya, takut nggak keburu katanya." Getaran di suara simbah makin kentara. "Dia anak yang sangat baik."

About Hope |√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang