Orang-orang menyebutnya move on. Langkah ke depan. Bergerak maju. Meninggalkan yang lalu.
Bapak move on dengan menghadiri lebih banyak seminar. Memadatkan jadwal kerjanya hingga akhir pekan, hingga suaranya di dalam rumah hanya bisa Reksa dengar ketika malam telah larut atau pada pagi yang masih amat buta. Ibu move on dengan membereskan baju-baju Damar dari lemari, mengepaknya ke dalam dus-dus berbagai ukuran lalu mengumpulkannya di gudang.
Sementara bagi Reksa, move on tidak pernah menjadi sesederhana menyibukkan diri hingga terlupa akan kesedihan. Tidak pernah menjadi semudah menyingkirkan barang-barang peninggalan Damar. Semua itu percuma saja, jika tiap kali memejamkan mata yang melintasi kepalanya adalah raut wajah Damar terakhir kali sebelum jatuh koma, air muka tenang ketika laki-laki itu saat memenakan lagu, tepukan penuh arti di bahu Reksa ketika menyuruhnya untuk tetap melukis. Segala sesuatu yang kini lenyap bersama kepergiannya.
Reksa tidak bisa move on seperti orang-orang. Hal terjauh yang bisa ia lakukan sekarang adalah bertahan. Dengan tangkai-tangkai kuas yang tercecer di sekelilingnya, dengan kanvas-kanvas yang tak pernah berhasil terselesaikan, dengan puluhan kotak rokok yang kosong satu persatu, dengan putaran matahari yang memasok cahaya ke kamarnya—benda yang menopang hidupnya.
Bapak dan Ibu bukannya tak pernah mencoba untuk mengajaknya bergerak bersama mereka. Ibu melakukannya setiap hari; diawali ketukan beruntun, gerak sia-sia di pegangan pintu, lalu kalimat-kalimat semacam Damar sudah bahagia dan Reksa seharusnya juga begitu. Hal itu tidak menenangkannya, justru membuatnya merasa terlalu lambat dibandingkan orang-orang. Membuatnya merasa tertinggal dan enggan mengejar karena seberapa kencang pun ia berlari, ia tidak akan bisa menyamakan langkah.
Pandangan Reksa tertumbuk pada buku-buku yang bertumpuk di belakang pintu. Nama Mayang tercetak di masing-masing sampul coklatnya. Ah ... cewek satu itu. Reksa tak pernah menyangka, Mayang bisa menjadi yang paling keras kepala di antara mereka. Yang tak pernah lelah mencoba, yang tidak mempan diusir, tetap bertahan dalam kesia-siaan.
Gadis itu datang pada jam yang sama setiap harinya. Dengan ketukan ragu-ragu dari tangan-tangannya yang kecil, lalu melanjutkan dengan kalimat-kalimat sarat vibrasi. Tanpa desakan untuk menanggalkan duka, hanya cerita-cerita ringan bahwa di luar sana dunia terus berputar, masih ada hidup yang harus Reksa jalani, masih ada mimpi-mimpi yang harus diselesaikan.
Namun harapan Mayan pun tetap terlalu besar untuk diwujudkan. Reksa tak tahu apakah ia sanggup. Rasa terimakasih lah yang kemudian membawa Reksa memungut salah satu buku, membawanya ke meja belajar. Ia membalik halaman terakhir, catatan bahasa inggris dipenakan dalam tinta biru, berbentuk kecil-kecil, teratur, agak condong ke kanan. Reksa mungkin belum bisa membukakan pintu dan membiarkan Mayang masuk untuk melihat luka-lukanya, tetapi ia akan mencoba, ia akan melangkah, meski kecil dan terseret-seret.
Lampu belajar menjadi penerangan kedua setelah sinar bulan yang menyusup melalui teralis jendela dengan lubang-lubang menyerupai kerangka wajik yang disusun vertikal. Praktis, kamar yang sudah hampir seminggu tidak dibersihkan itu menjadi temaram. Ketika bunyi kasak-kusuk terdengar dari pintu, Reksa tidak berhasil menangkap pemandangan apa pun. Ia bergeming beberapa lama, menantikan pukulan pada daun pintu atau suara seseorang sekaligus konfirmasi atas identitasnya. Namun tak ada apa-apa.
Reksa beranjak dari meja belajar, juga catatan bahasa inggris yang belum terselesaikan, dalam gelap tangannya menjangkau saklar lampu yang ditanam di dinding. Kilat cahaya menyembur, padam sedetik, lalu memancar stabil dari dua gagang lampu di tengah ruangan. Mata Reksa membuta sejenak, sampah-sampah sisa rokok dan bungkus makanan ringan yang menyebar di lantai berebut atensinya, tetapi yang kemudian membuat pandangannya tertambat adalah sebentuk kotak monopoli yang baru dijejalkan melalui celah di bawah pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Hope |√
Teen Fiction[TAMAT] About Hope - Mengenai Harapan Yang Tak Padam Damar dan Reksa itu berbeda. Begitulah yg Fio simpulkan setelah menghabiskan seumur hidupnya untuk bersahabat dengan mereka. Meski kakak beradik, fisik mereka tak sama, kepribadian mereka berlain...