Lukisan itu belum selesai.
Reksa membolos hampir satu minggu, berganti kanvas dua kali, menghabiskan seharian penuh di halaman Museum Fatahilah, dan satu-satunya progress berarti yang ia dapatkan adalah kulit yang kian matang.
Meski tak mungkin menghitam berkat percikan darah bule dari Tante Dira, wajah cowok itu kini berbintik-bintik cokelat gelap, sementara ruam-ruam kemerahan bermunculan pada titik-titik tertentu. Rambutnya yang sudah dipangkas pendek tidak terlalu terlihat kumal, tetapi begitu didekati akan menebarkan aroma apek sebab tidak bersinggungan dengan air dalam kurun yang lama.
"Udah berapa lama nggak nyentuh air?" Bahkan sejak keluar dari mobilnya tadi, dalam jarak pandang yang memisahkannya dengan Reksa yang duduk di teras depan Mayang bisa menangkap kumal dalam diri laki-laki itu.
"Pelukis tuh kalo keseringan mandi jadinya bukan pelukis."
Mayang ikut menggelosor di ubin terbuka. Di belakang Reksa yang berkutat dengan kanvas yang sudah kotor penuh sapuan warna. Laki-laki itu sedang menciptakan ilusi bola-bola sabun yang menyebarkan spekturm cahaya. Mayang tahu betapa sulit menyelesaikannya.
"Mandi dulu kenapa, Sa?"
"Nanggung."
Di balik punggung Reksa, Mayang mendumal panjang. Namun urung menyuarakannya keras-keras sebab tidak mau menganggu konsentrasi laki-laki itu. Pandangan Mayang tahu-tahu saja tertambat pada rumah di samping tempatnya berada. Malam ketika Fio membawa pulang kekalahan pada festival band, perempuan itu menelfonnya. Berceloteh panjang lebar menanyakan keadaan ibu Mayang yang katanya pingsan mendadak. Bahkan pada saat Fio harusnya mencemaskan dirinya sendiri, ia justru mencemaskan orang lain.
Terdengar suara palet menggesek lantai. Gelembung di kanvas sudah selesai dilukiskan, berjumlah empat dalam ukuran sama rata. Melayang dalam ruang imajiner. "Udah tuh, udah kelar, mandi sana."
"Iya-iya bawel, sini peluk dulu." Reksa memutar lalu merentangkan kedua lengannya menjadi setengah lingkaran besar. Seringai di wajahnya tidak kalah lebar.
Mayang pura-pura mengendus. "Bau lo tuh kayak kambing, gila aja gue masih mau dipeluk-peluk."
Reksa mengangkat kedua ketiaknya lebih tinggi. Lalu menengok masing-masing bergantian sambil mengendus yang Mayang yakini hanya gestur pura-pura. "Enggak, wangi gini, seger kok."
Laki-laki itu kemudian sadar diri. Ia mengangkat tubuhnya sambil menyingkirkan sisa cat minyak yang mengering di celana selutut yang ia pakai. "Gue titip kanvas tapi ya, lo di sini aja."
"Enggak, gue mau ke rumah Fio."
Reksa tampak menelan kembali protes yang ingin ia layangkan. Raut wajahnya berubah serupa pantulan dari perasaan Mayang sendiri. "Oke, nanti gue nyusul abis mandi. Gue juga belum sempet ketemu dia."
Mayang masih belum beranjak hingga Reksa membongkar kanvas dari easel. Memboyongnya ke dalam rumah diiringi siul-siul bernada sumbang. "Sa, itu udah selesai loh. Kapan dikirim?" tanya gadis itu sambil mengerling kanvas di tangan Reksa.
"Belum, masih ada yang kurang."
Dan, Reksa benar. Masih ada yang kurang. Meski Mayang merasa sesuatu itu tidak ada hubungannya dengan segala aspek dan teori-teori melukis. Baru ketika Reksa telah lenyap di dalam rumah dan siulnya tak lagi terdengar, menyisakan selembar palet kotor yang kini Mayang tatap lekat-lekat, perempuan itu mengerti atau lebih tetaptnya menyadari. Di dalam lukisan itu ia tidak menemukan Reksa.
<About-Hope>
Serumpun daun sukun yang lebar dan beruas-ruas tebal gugur dari rantingnya yang telah lama menua. Melayang tanpa suara kemudian rebah di tanah. Fio menyaksikannya begitu melewati birai pintu, dalam diam. Tidak ada beban gitar yang menggelayuti punggungnya, tetapi untuk berdiri tegak pun Fio merasa berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Hope |√
Teen Fiction[TAMAT] About Hope - Mengenai Harapan Yang Tak Padam Damar dan Reksa itu berbeda. Begitulah yg Fio simpulkan setelah menghabiskan seumur hidupnya untuk bersahabat dengan mereka. Meski kakak beradik, fisik mereka tak sama, kepribadian mereka berlain...