Ruang klub lukis memang cenderung lebih kecil dari ruang klub-klub ekstrakulikuler lainnya. Saking mungilnya, lemari-lemari tinggi di dalamnya seolah saling berdesak-desakan dengan kanvas-kanvas yang bercecer di dalam sana. Kalau bukan karena para anggotanya berdedikasi tinggi dan secara kebetulan berjiwa kreatif, Fio tidak tahu akan jadi apa tempat ini. Namun tetap saja, sesempit-sempitnya ruang itu, ia tidak seharusnya terasa sesesak sekarang. Seolah tidak ada sejengkal pun ventilasi yang memasok udara dari luar.
Mayang, dan kesedihan gadis itu seolah mengonsumsi oksigen lebih banyak daripada jatah seharusnya.
"Kenapa nggak cerita dari kemarin-kemarin sih, May, kalo ada masalah sama Reksa. Barangkali aja gue bisa bantu. Nggak harus langsung putus kayak gini."
Sama seperti kabar jadiannya waktu itu. Kabar putusnya Mayang dan Reksa juga Fio dapat dari para penggosip sekolah. Dan, seperti waktu itu juga, Fio tidak sempat punya ruang untuk merasa kecewa.
"It's okay, Fi, emang udah nggak cocok aja," kata Mayang, Fio tahu semua itu jauh jaraknya dari kebenaran.
Mayang menyapukan ujung kuas yang terlalu basah oleh cat biru tua. Seketika kanvas putih di hadapannya kotor oleh selarik garis tebal yang meliuk abstrak. Kata orang, biru adalah simbol kesedihan. Jika benar begitu, ditilik dari pekat warna itu, dari kanvas yang kini agak mengendur sebab ditekan terlalu keras, maka kesedihan gadis itu sudah pasti sama dalamnya.
Fio membawa kursi plastiknya lebih dekat ke samping Mayang. Kontak fisik harusnya lebih mudah membuat seseorang luluh daripada sekedar kata-kata. "Gue di sini. Gue dengerin lo kalo lo butuh cerita apa-apa."
"Terus gimana sama lo? Lo pikir gue nggak di sini kalo misal lo yang butuh cerita apa-apa?"
Fio tidak tahu akan dibawa ke mana percakapan ini nantinya. Yang jelas di ujung sana, ia melihat bayang konfrontasi. "Maksud lo apa sih?"
"Maksud gue kenapa lo harus nagih cerita ke gue, saat lo nggak pernah ceritain masalah lo ke gue? Kenapa gue nggak tau apa-apa tentang keputusan lo keluar dari band? Kenapa lo sering ngilang-ngilang nggak jelas? Kenapa gue bahkan hampir buta soal Ruben?"
Karena Mayang dan Reksa sudah cukup bahagia. Karena membeberkan masalahnya hanya akan merusak momen-momen itu. Karena Fio bahkan tak pernah benar-benar yakin dengan Ruben. Karena sebagian dirinya telah tersisih, perlu menyisih, harus disisihkan. Ada begitu banyak jawaban yang bisa ia jabarkan untuk Mayang, tetapi mangatakannya pun tidak akan menyelamatkan sahabatnya itu dari patah hati.
Dan Fio tak pernah tahu, setidaknya saat itu, bahwa menjadi jujur adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan persahabatannya dengan Mayang. Sekarang, atau tidak sama sekali.
"Itu beda cerita, May, Ruben itu orang luar."
"Nggak masuk akal." Mayang meletakkan palet warna di meja kayu dengan kasar. Nyaris membanting.
Memang tidak masuk akal. Rasa enggannya untuk membagi masalah karena tidak ingin menjadi beban memang tak masuk akal. Paksaan kepada diri sendiri untuk selalu terlihat baik-baik saja memang tak masuk akal. Fio tahu itu, yang ia tak tahu adalah bagaimana membuat itu semua menjadi masuk akal dengan menguraikannya ke dalam kata-kata.
"Lo terlalu keras sama diri lo sendiri, Fi." Decit kursi yang menggerus lantai mengiringi lengking tajam suara Mayang. "Lo selalu menganggap lo bisa nolongin semua orang, saat sebenernya diri lo sendiri yang butuh ditolong. Lo selalu menganggap jadi kuat adalah kunci buat menghadapi semua masalah padahal nggak ada yang ngelarang lo untuk sedih bahkan nangis bahkan jerit-jerit sekalipun."
"Lo keberatan Mama lo kerja terlalu sering, lo kesepian sering ditinggal di rumah sendirian, tapi lo nggak pernah bilang. Kenapa? Supaya Mama lo nggak ngerasa bersalah. Lo sedih Mas Damar pergi, tapi lo nggak pernah nunjukin itu. Kenapa? Supaya Tante Dira dan Reksa nggak ngerasa bersalah. Lo ambil semua rasa bersalah mereka untuk lo tanggung sendirian. Lo selalu memandang masalah dari sudut pandang di mana lo adalah orang yang paling bertanggung jawab dan pantes disalahin."
KAMU SEDANG MEMBACA
About Hope |√
Teen Fiction[TAMAT] About Hope - Mengenai Harapan Yang Tak Padam Damar dan Reksa itu berbeda. Begitulah yg Fio simpulkan setelah menghabiskan seumur hidupnya untuk bersahabat dengan mereka. Meski kakak beradik, fisik mereka tak sama, kepribadian mereka berlain...