Prolog

2.5K 101 27
                                    

Hope you like it...

Gadis itu baru genap berusia enam belas tahun, dan sejak dini hari tadi diteror ucapan selamat ulang tahun tiada henti dari berbagai media sosial yang ia punya. Isinya macam-macam, ada yang hanya sekelumit kalimat ucapan normatif, doa-doa umum seperti semoga panjang umur dan sehat selalu, hingga baris-baris puisi dengan diksi mendayu-dayu. Siang tadi, sepulang sekolah, tasnya mendadak memberat dipenuhi berkotak-kotak hadiah dengan bungkus kertas warna-warni. Hingga kini, ucapan-ucapan selamat ulang tahun itu masih betah menghuni kotak masuk di akun sosial medianya, belum terbaca. Sementara kotak-kotak warna-warni itu menggunung di meja belajarnya, berebut tempat dengan setumpuk seri novel Harry Potter kegemarannya.

Gadis berkacamata bingkai persegi lebar itu, bukannya tidak menghargai ribuan notifikasi di ponselnya, juga bukannya tidak menyukai setumpuk hadiah yang akan segera menjadi penghuni baru kamarnya yang tidak seberapa luas ini. Namun rasanya ada yang kurang, ada yang belum tepat, gadis berambut lurus sebahu itu tidak akan merasa nyaman atau minimal tenang jika ucapan dari orang-orang yang paling ia tunggu-tunggu justru belum diberikan.

Pukul empat sore. Kamarnya senyap, tidak seperti biasanya, gadis itu sengaja tidak menyalakan musik baik di ponsel maupun laptopnya, gitar kesayangannya juga menganggur di samping meja belajarnya yang penuh sesak. Hanya sesekali, terdengar suara pengharum ruangan menyemprotkan aroma lemon dan detikan jam yang berdetak konstan. Sejak tadi, ia belingsatan di tempat tidur. Menahan diri untuk tidak menyatroni rumah yang berdiri persis di seberang rumahnya dan meneriaki dua orang penghuninya.

Di luar, persis di samping kamarnya, terdengar suara debum berulang-ulang. Langkah-langkah kaki yang berkejaran, dan bincang-bincang absurd. Gadis itu berjalan ke arah jendela ganda yang berdiri vertikal dan tertutup tirai motif bunga matahari. Ia menyibakkan tirai itu dalam satu gerakan cepat, mendorong bingkai kaca yang diselimuti sedikit debu, lantas menemukan dua orang itu.

Tepat di samping kamarnya, terdapat lapangan mini dengan satu tiang basket dengan garis-garis batas yang mulai memudar dimakan waktu. Lapangan itu sekaligus menjadi pemisah rumahnya dengan rumah tetangga terdekatnya. Dua orang laki-laki sedang betanding  one on one di sana, memperebutkan bola oranye yang memantul-mantul liar di atas lantai semen, beradu teknik dan kecepatan. Sementara di langit, matahari perlahan dilingkupi awan, hanya sebagian sinarnya saja yang berhasil menerobos menciptakan garis-garis lurus terang. Langit Jakarta yang terbiasa kelabu dalam sekejap menjadi lebih pekat dan redup.

"Woy." Gadis itu berteriak, sebagian karena ingin memperingatkan, sebagian yang lain menyuarakan rasa dongkol. "Mendung tuh."

Laki-laki yang lebih tinggi, yang badannya lebih berisi dibanding yang satunya, menoleh ke arah jendela. Ia betemu dengan mata si gadis. Sejenak membiarkan bola basket berada dalam penguasaaan lawannya—lelaki berambut gondrong dan masih mengenakan seragam putih-abu. Laki-laki tinggi yang telah mengganti seragamnya dengan kaus putih polos itu seperti hendak mengatakan sesuatu tetapi urung dan hanya melambaikan tangan.

"Gue udah angkat jemuran," celetuk lelaki satunya, yang berambut gondrong, berbadan ceking, dan baru saja memasukkan bola ke keranjang dengan lompatan tinggi lalu terengah-engah.

Si gadis menggerutu kesal. "Ya udah, ujan-ujanan aja sana, biar pada sakit semua."

Lalu ketika gerimis pertama menitik turun, membasahi rerumputan dan mengusir pergi debu-debu yang di atas genting, gadis itu menutup jendela sekaligus tirai di kamarnya. Debum di luar sudah berhenti digantikan suara gerimis yang turun semakin rapat, barangkali dua orang itu juga sudah berlari meneduh ke rumahnya. Hingga tiba-tiba ketukan beruntun bersarang di kaca jendela yang baru saja ia tinggalkan. Ketika menggeser tirai, gadis itu menemukan si lelaki paling tinggi dan tubuh berisi tersenyum lebar ke arahnya, seperbagian kausnya yang basah melekat di tubuh, dan ia berdiri rapat-rapat ke jendela untuk menghindari guyuran air dari paralon.

Gadis itu, tanpa berpikir lebih lanjut, membuka jendelanya, membiarkan lelaki itu menyelipkan diri, sepasang sandalnya ia tinggalkan di luar.

"Jangan bergerak dulu," ucap si gadis. Ia mengambil handuk yang tergantung di belakang pintu kamarnya lalu memberikannya kepada lelaki yang baru saja menyusup ke kamarnya dalam keadaan setengah kuyup. Si lelaki mengelap rambutnya yang menggumpal oleh titik-titik air, sekujur tangan, dan sebagian tubuhnya. Terakhir ia mengalungkan handuk itu di lehernya.

Si gadis duduk di tempat tidur, sementara lelaki yang baru mengeringkan diri itu duduk di kursi belajar. Berhadapan.

"Oh iya, hari ini ada yang ulang tahun." Lelaki itu memandangi kotak-kotak kado yang menggunung di meja belajar si gadis. Sebagian berjatuhan ke lantai saking banyaknya.

Si gadis berpura-pura sibuk dengan ponselnya. "Telat!" ucapnya.

Sejatinya, ia mengharapkan lelaki itu lah yang akan menjadi orang pertama yang memberinya ucapan selamat ulang tahun tengah malam tadi, yang mengetuk pintu kamarnya dan membawa sebentuk kue ulang tahun bertabur kepingan cokelat membeku, yang menemaninya mengucap harapan dan resolusi.

"Eh, jangan ngambek dong." Si gadis bersikeras menatap ponsel. Meski, di dalam suara lelaki itu, selalu terdapat sesuatu yang membuatnya menurut. "Aku nggak lupa kok."

Eh? Si gadis terbelalak, sejak kapan lelaki itu ber-aku kamu padanya?

Ketika si gadis kembali memandang ke kursi belajar lelaki itu sudah tidak di sana. Melainkan duduk bersila tanpa alas di kaki tempat tidur, memangku gitar akustik milik gadis itu.

"Lo ngapain sih, Mas?" Mau tak mau gadis itu meletakkan ponselnya.

Satu tangan laki-laki itu menepuk ruang kosong di sampingnya. Si gadis pun mengerti, meski enggan ia duduk di samping laki-laki itu. Si laki-laki menyerongkan cara duduknya hingga mereka berhadapan. Lalu berucap sambil memosisikan jemarinya di atas senar. "Denger ya, ini lagu buat kamu, belum ada liriknya, baru nadanya aja. Nanti kamu bebas kasih lirik sesuka kamu. Tapi judulnya harus teman. Seperti arti nama kamu :  Fiolita."

Gadis itu tidak berkata-kata lagi, ia patuh mendengarkan si laki-laki memainkan tangga-tangga nada. Melodinya lembut tetapi tidak mendayu-dayu, justru terdapat letupan semangat di sana, sesuatu yang menginspirasi untuk terus bergerak dan bermimpi. Indah.

"Mas," napas gadis itu tercekat. Air matanya menitik satu. "Itu bagus banget."

Laki-laki itu meletakkan gitar yang semula ia mainkan ke atas tempat tidur. Ia mengulurkan tangan menghapus air mata di pipi gadis itu. Tertatih-tatih ia mengutarakan perasaan yang sudah dipendamnya sekian lama, mengucapkan kata-kata yang telah ia persiapkan jauh-jauh hari. Ia tidak tahu apa waktunya benar-benar tepat, dan tidak akan pernah tahu, tetapi hatinya menolak untuk mengelak lebih lama.

"Selamat ulang tahun," ia menarik napas dalam. "Aku sayang kamu."

Gadis di hadapannya itu tidak mengucapkan apa-apa, tetapi pipinya memberikan semburat kemerahan, sudut-sudut bibirnya memberikan senyum malu-malu, dan matanya berkilat oleh air mata kebahagiaan. Laki-laki itu sudah memperoleh jawaban yang ia mau. Maka ia pun melingkarkan lengannya ke sekeliling tubuh gadis itu, yang tidak berontak, yang justru balik memeluknya lebih erat.

Sementara di ujung yang lain, laki-laki yang lebih pendek, yang tadi pulang ke rumahnya ketika gerimis turun untuk mengambil buku sketsanya, yang kini berdiri sambil memegang gagang pintu yang barusan didorongnya, berdiri terkelu. Melihat dua orang yang sedang berpelukan erat di depannya. Tanpa sadar, ia menyembunyikan buku sketsanya ke belakang punggung lalu perlahan-lahan menutup kembali pintu kamar gadis itu. Gadis yang kini berada dalam pelukan kakaknya sendiri.

Laki-laki itu, yang bernama Reksa, melangkah pulang. Meninggalkan Fiolita dan Damar yang tidak sempat menyadari kehadirannya.

<About-Hope>

About Hope |√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang