9. Mengenai Konfirmasi Rasa

415 38 3
                                    

-Could you find a way to let me down slowly?-

Let Me Down Slowly-Alec Benjamin

"Perihal apa yang harus saya jelasin ke kamu?" Pertayaan Ruben dilatari suara denting cangkir, suara gejolak air mendidih, live music dari band lain di atas panggung, dan dengung percakapan dari berbagai arah. Sementara Fio membenamkan wajah pada lekukan tangan.

Kenapa seseorang bisa merasa letih padahal nggak melakukan aktivitas fisik yang berat? Namun Fio tidak menanyakan itu. "Kenapa kamu bisa ada di sini dan tiba-tiba saja nggak bisa saya hindari entah sampai kapan."

"Kamu mau ngehindar dari saya?"

Gara-gara ketemu kamu, tiba-tiba aja saya jadi drama. Saya jadi mempertimbangkan buat percaya dengan teori takdir, konspirasi semesta, dan segala sesuatu yang cuma saya dapet di novel selama ini. "Dulu waktu saya rutin ke sini, kamu nggak ada. Sekarang, tiba-tiba kamu muncul, ngaku kakak kelas saya, ngajakin saya kenalan. Saya ... bingung."

Fio mendengar bunyi gelas menggesek permukaan meja bar. Espressonya telah siap. Menguarkan harum pekat. "Kalau kamu bingung, saya bisa bantu kamu sampai ngerti."

Fio mengangkat kepala. Menumpukan dagu pada dua kepalan tangan. Ia menatap Ruben di balik meja.

"Saya emang baru kerja di sini sekitar tiga minggu. Dulunya saya kerja di daerah Bintaro. Owner café ini masih sepupu saya. Terus karena dua baristanya resign di saat bersamaan, dia nge-rekrut saya buat gabung."

Dahi Fio berkerut curiga. "Jangan salahin saya kalo saya jadi mikir tawaran tampil buat band SMA Pembangunan adalah ide kamu?"

Ruben tertawa, cekung manis di salah satu pipinya kian samar oleh cahaya temaram. "Saya cuma kasih ide, selebihnya, Yuda mempertimbangkan sendiri."

Fio menyesap gelas espresso-nya. Masih terlalu panas.

"Gimana?"

"Enak," kata Fio.

Untuk sesuatu yang tidak dimengerti Fio, Ruben tertawa. "Enaknya gimana?"

"Ya, enak, kayak espresso biasanya. Rasa kopi."

Ruben tertawa makin lebar, panjang dan merdu. Kalau suasana hatinya sedikit saja lebih baik, Fio pasti sudah tertular. "Saya emang nggak ngerti kopi, nggak usah diketawain."

"Oke, sorri." Susah payah, Ruben berusaha menelan kembali sisa tawanya. "Saya nggak ketawa gara-gara kamu nggak ngerti kopi. Saya ketawa karena kamu lucu banget."

Mungkin jika usianya masih tiga belas atau empat balas Fio akan tersipu jika ada yang memujinya seperti Ruben barusan. Saat ia masih punya sekotak bando-bando besar di meja riasnya. Namun kini Fio sudah tujuh belas tahun, mendengar kata lucu disematkan kepadanya, jutru membuat Fio berpikir akan sebuah noda spidol yang mencoret sisi wajahnya, atau lipstik merah terang yang meluber dari garis bibir. Julukan itu aneh.

"Kalo tertarik tentang kopi, kamu boleh belajar sama saya."

Fio tidak perlu berpikir untuk menjawab. "Saya nggak begitu tertarik."

"Kenapa?" tanya Ruben. Tangannya bergerak membetulkan lengan kemeja yang gulungannya terburai.

"Karena masih banyak hal lain yang ingin saya pelajari."

"Apa?"

Fio ingin belajar bagaimana cara membuat keputusan yang tidak menyakiti banyak orang. Cara menentukan pilihan dengan sedikit mungkin orang yang kecewa, atau kalau bisa tidak sama sekali. Fio ingin belajar memahami lebih dalam, memahami Reksa, memahami keadaan, memahami dunia. Fio ingin belajar cara menerima hal-hal yang jatuh di luar kendalinya tanpa 'mengapa'. Fio juga ingin belajar untuk berharap, untuk berhenti menjadi pesimis.

About Hope |√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang