Noni Belanda : Endje Maroshlayk

19.2K 984 17
                                    

Source : kaskus / Kesaksian Endje Maroshlayk

Endje Maroshlayk, seorang berdarah campuran Maluku-Belanda, tak menyangka bisa menguak misteri leluhurnya. Akibat kerusuhan berbau SARA di Ambon, pada tahun 2000-an, Endje ikut orang tuanya pindah ke Bogor, Jawa Barat. Mereka mendiami sebuah rumah peninggalan Belanda di Jalan Jenderal Sudirman, Kota Bogor.

Rumahnya cukup besar dengan desain khas zaman Belanda. Luas bangunan sekitar 350 meter persegi dengan luas tanah sekitar 850 meter persegi. Di belakang rumah terdapat kebun buah.

Rumah ini masih kokoh berdiri hingga sekarang. Di rumah inilah, ia menyaksikan serangkaian penampakan hantu noni Belanda, yang kemudian ternyata adalah leluhurnya.

Bisa dikatakan, Endje dikaruniai semacam kemampuan supranatural. Mungkin bawaan lahir atau memang sengaja dipilih arwah noni Belanda untuk mengungkap sejarah keluarganya. Yang pasti, di rumah itulah sejak kecil hingga dewasa ia melihat penampakan arwah tersebut.

Pada mulanya ia ketakutan. Dalam kesaksiaanya, ia meyebutkan, "Noni Belanda itu cantik banget, umurnya sekitar 18-25 tahun. Mukanya mirip selebritis Olivia Janssen. Rambutnya pirang agak bergelombang," tutur Endje. Walaupun cantik, tetaplah menakutkan.

Mulanya, saat malam hari, Endje melihat Noni seperti sedang menyaksikan aneka bunga anggrek di taman ibunya. Antara takut dan penasaran, ia dekati, namun kemudian Noni itu menghilang menyisakan bau harum di sekitarnya.

Di lain hari, Endje terbangun dari tidur karena dikejutkan oleh suara perempuan melantunkan lagu berbahasa Belanda, "Als de orchideen bloeien... Ween ik haast van liefdes smart..." Ketika senandung nyanyian berakhir, tiba-tiba berganti suara tangis menyayat hati.

Hingga suatu ketika, saat ia sendiri di rumah, Noni menampakkan dirinya di samping televisi. Wajahnya berubah menyeramkan, kepalannya berdarah. Endje berusaha melawan takut, ingin menjerit namun suara tak bisa keluar.

Tiba-tiba, Noni itu melambaikan tangannya seolah meminta Endje mendekatinya. Seperti kena sihir, Endje bangkit dan melangkah ke arah Noni. Baru beberapa langkah, tiba-tiba matanya gelap, sekitarnya gelap gulita. Sejenak ia tak melihat apa pun.

Ia pejamkan mata sejenak. Ketika ia buka kembali, tiba-tiba muncul pemandangan berbeda, ruangan rumahnya berubah. Barang-barang zaman lama ada di sana-sini. Ia kini berada pada massa zaman Belanda. Ia kemudian melihat ke luar jendela, di luar berderet rumah Belanda diterangi lampu temaram.

Endje sempat ke luar rumah. Ia tatap arah Istana Bogor yang tertutup kabut. Saat di luar rumah, tiba-tiba di dalam rumahnya ada seorang laki-laki Belanda berpakaian tentara. Ia yakin laki-laki itu berseragam tentara KNIL.

Lelaki itu berjalan menuju ruang belakang. Di sana ada seorang perempuan berdarah campuran, yang wajahnya sudah tak asing, Noni. Di pangkuan Noni, ada seorang anak balita yang sedang memainkan boneka. Mereka akan menikmati makan malam.

Endje baru akan masuk ke rumah itu, tetapi tiba-tiba datanglah segerombolan pasukan dengan seragam yang tak asing, pasukan Nippon. Mereka tampak beringas menyerbu rumah itu. Ada yang sambil memecahkan kaca dan ada yang melepaskan tembakan.

Lelaki bule tadi tak bisa berbuat apa-apa. Dalam kondisi tak siaga, ia disergap. Beberapa tentara Jepang mengeluarkan kata-kata sambil membentak yang tidak Endje paham apa artinya. Kemudian disusul, salah seorang dari mereka meletupkan senjatanya persis di kepala lelaki KNIL itu. Seketika itu juga lelaki tersebut tumbang bergelimang darah.

Dalam kondisi mulut ternganga, Endje menyaksikan kejadian keji berikutnya. Noni didorong ke lantai, sementara si balita diangkat kasar dan dijauhkan dari tubuhnya. Tentara lainnya dengan brutal melucuti pakaiannya, selanjutnya...

Noni berteriak, namun mulutnya kemudian dibungkam dengan selembar kain. Endje tak sanggup melihat kejadian selanjutnya, ia gemetar. Mau menolong tapi tubuhnya terasa membeku.

Sekilas nampak semua tentara Jepang bergantian masuk dan keluar dari ruang belakang. Selanjutnya, ia mendengar suara letusan senjata. Ia menengok, Noni sudah bergelimang darah dengan pakaian terkoyak. Noni tewas.

Endje roboh tak sadarkan diri. Ia baru sadar kembali tatkala hari sudah pagi. Ibunya membangunkannya. Setelah penampakan malam itu, ia terjatuh dan tertidur di lantai ruang tengah.

Kejadian itu, disimpan oleh Endje, ia tak dapat melupakannya. Sampai suatu ketika, tanpa sengaja saat ia membongkar gudang, ia menemukan sebuah buku tua berbahasa Belanda. Dalam tulisan itu tercatat nama si penulis, yaitu .

Nampaknya, Noni itu tak lain dan tak bukan adalah pemilik buku itu. Suaminya bernama Guus Willem Van Osch Lijk dan anak mereka yang masih balita bernama Charlotte Maria Van Osch Lijk. Ia pun mulai berpikir, dalam penampakannya, anak balita itu ditinggalkan para tentara Jepang. Bagaimanakah nasibnya?

Endje penasaran. Ia kini tidak takut lagi pada penampakan Noni. Saat ia menjumpainya kembali, ia berani menanyakan bagaimana selanjutnya. Dengan cara yang sama saat ia menyaksikan peristiwa malam berdarah itu, Endje dibuat seolah menyaksikan kejadian selanjutnya.

Jenasah Noni dan suaminya ditemukan warga sekitar. Mereka dikubur di makam Belanda yang kini berada di Kebun Raya Bogor. Anaknya yang balita, diasuh oleh seorang warga Bumi Putera tak jauh dari rumahnya.

Untuk memastikan penampakan yang kedua, Endje memutuskan melacak makam Noni dan keberadaan balita itu. Di Kebun Raya Bogor, ia temukan sebuah nisan yang sudah hampir rusak, tertulis , wafat 23 Februari 1942.

Mengenai keberadaan balita itu, Endje kemudian baru tahu. Si Balita berhasil dibesarkan oleh keluarga orang pribumi. Sesudah dewasa, kemudian pergi ke Maluku. Di Maluku, namanya berubah menjadi Siti Mariam.

Siti Mariam kemudian mempunyai anak bernama Azzahra Maria Dewiet. Nama terakhir ini, sudah tidak asing baginya. Dialah ibu kandungnya. Endje pun bersujud. Penampakan Noni ternyata mengantarkan tentang sejarah asal-usul Oma , nenek buyutnya.

ENSIKLOPEDIA MISTERI HOROR BUDAYA INDONESIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang