~ 33 ~

2.2K 199 60
                                    

[Kiko's POV]

Beberapa hari ini gue bisa menghindar dari Andra. Meski nggak bisa gue pungkiri kalau hati gue juga sakit. Gue nggak sekuat itu buat berada jauh dari dia.

Berapa kalipun gue kepikiran buat nyerah dan balik ke Andra. Gue selalu inget perkataan Dean. Gue harus berhenti. Berhenti buat berharap sama sesuatu yang nggak pasti.

Hari ini gue bolos. Tadi pagi waktu gue pulang dari rumah Fajar, gue kayuh sepeda gue kesembarang arah. Gue nggak mau pulang, bahkan gue nggak bawa hp ataupun uang sedikit pun. Untung aja tadi udah sarapan dirumah Fajar. Seenggaknya sampai siang nanti gue nggak kelaperan.

Gue berhentiin sepeda gue didepan kakek-kakek yang lagi mungutin aqua-aqua gelas yang berserakan. Mungkin aja ini bekas dari acara tadi malem. Gue ikut ngebantuin kakek-kakek tersebut ngumpulin aqua gelas yang jumlahnya ternyata nggak sedikit.

Setelah satu jam akhirnya kita selesai. Gue duduk disamping kakek yang lagi ngelap keringatnya.

"Makasih, nak. Sudah bantu kakek." Gue ngangguk, "sama-sama kek."

"Ini masih siang, kamu ndak sekolah?"

"Saya bolos sekolah kek." Tanpa gue duga, kakek ngelus kepala gue. Pelan, lembut, bikin gue ngerasa nyaman.

"Kalau ada masalah, hadapi. Tuhan tidak akan memberikan cobaan pada umat-Nya yang lemah." Entah kenapa denger perkataan kakek bikin gue nangis.

"Saya sudah tidak sanggup, kek. Apa yang menimpa saya akhir-akhir ini terlalu berat buat saya."

"Sebentar lagi adzan Dzuhur, ambil air wudhu lalu sholat. Minta petunjuk sama Allah." Gue ngangguk, gue turutin saran kakek. Mengadu pada Tuhan memang pilihan yang paling baik. Semua yang gue alamin, semua yang gue lakuin, gue berusaha berkomunikasi dengan Tuhan. Seketika itu, perasaan lega menghampiri gue.

.

Tanpa gue sadari, seharian ini gue muter-muter nggak tentu arah. Bahkan gue belum makan dari tadi siang. Sekarang udah jam 5 sore, mungkin dan harusnya gue harus pulang sekarang.

Setelah ngumpulin keberanian, gue kayuh sepeda gue pulang kerumah. Gue sampai didepan rumah gue, sepi. Pintu depan rumah tertutup rapat. Gue mau masuk, tapi ragu.

Akhirnya gue cuma duduk di teras depan rumah. Nekuk kedua lutut gue dan gue peluk. Gue sandarin kepala gue dilutut gue. Gue capek. Gue meremin kedua mata gue sampe gue ketiduran.

Kedua mata gue kebuka waktu gue ngerasain ada benda yang nyentuh kening gue. Dan orang yang pertama gue liat adalah Bunda. Gue berusaha buat bangkit tapi, kepala gue pusing. Dan jatuh lagi diatas tempat tidur. Gue nggak tau gimana ceritanya gue bisa sampai dikamar gue.

"Bunda.." panggil gue lirih, gue ngeliat kearah bunda yang juga lagi ngeliat kearah gue khawatir.

"Kamu kemana aja nak, bunda sama bang Rudi nyari kamu kemana-kemana. Bunda khawatir sama kamu, Bunda takut kamu kenapa-napa." Bunda natap gue sedih, bikin gue ngerasa bersalah.

"Kiko nggak kemana-mana kok, bunda. Kiko cuma nyari udara segar aja." Jawab gue bohong.

"Kamu ada masalah apa? Cerita sama bunda. Jangan suka mendam masalah sendiri, bunda khawatir. Bunda takut kalau kejadian yang menimpa Ayah kamu, akan terulang kembali." Setelah sekian lama, gue ngeliat Bunda kembali nangis. Gue pelan-pelan bangun dari tidur dan meluk bunda.

"Kiko nggak kenapa-napa bunda. Jangan nangis, Kiko nggak bakalan ninggalin bunda. Kiko nggak mau ikut sama ayah, Kiko mau terus sama bunda."

"Sekarang... mau cerita sama bunda?" Gue ngelepas pelukan bunda, gue nunduk, nggak kuat buat tatapan sama bunda. Rasa bersalah makin terasa besar dihati gue.

Cinta, Eh?! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang