"Shill, kamu lagi ada masalah ya. Kenapa diem aja dari tadi?" Tanya Lista, begitu mereka keluar dari masjid. Setelah mereka melakukan salat isya berjamaah di salah satu masjid dekat rumah. Melihat wajah putrinya yang ditekuk, membuat ibu beranak dua itu penasaran. Memang selama ini Lista fokus pada bisnis coffee and bakery miliknya sehingga membuatnya jarang memiliki waktu untuk Shilla.
"Cuman kecapaian Ma." Gadis yang masih mengenakan mukenah putih itu tersenyum, bersama Mamanya ia berjalan ke rumah.
"Mama perhatikan belakangan ini kamu sering diam, apa ada masalah. Coba cerita ke Mama, maafin Mama yang sibuk bekerja. Jadi ngga bisa ngurusin kamu."
"Shilla, nggapapa Ma. Yah, permasalahan biasa. Shilla cuman butuh waktu untuk beradaptasi di lingkungan SMA ini."
Lista tersenyum, mengusap rambut halus gadis berponi itu. "Bagus, belajar yang bener ya. Biar Papa di sana bangga."
Sekali lagi, Shilla tersenyum. Kali ini berbeda, senyumannya seolah menahan air mata berserta kepedian yang dia pendam. Dia rindu Papa? Tentu, Shilla rasa dia belum cukup umur ketika Papanya pergi. Bahkan sampai sekarang pun, ia ingin mencubit pipinya dan tersadar jika semua ini hanyalah mimpi.
"Itu pasti Ma."
"Adik gue kenapa cemberut aja nih." Secara tiba-tiba Alfe datang dengan memegangi pundak Shilla, gadis itu yang merasa kaget dan geli menjerit serta melonjak. Si empunya yang mengerjai malah tertawa terpingkal-pingkal.
"Bang, lo tuh punya tangan dipakai buat hal yang berfaedah bisa ngga." Dengan wajah yang jengah menatap Kakaknya secara tak suka.
"Woyajelas berfaedah, kamu tuh kaya ngga tau kalau Abangmu ini selain programmer juga merangkap menjadi web developer."
Shilla menjentikkan jari seraya tersenyum getir. "Dimana-mana tuh Bang, CEO lebih keren. Elo mah Programmer paling cuman nerima order coding, selesai trus dibayar. Kan sama aja cuman jadi kacung yang disuruh-suruh."
Alfe merespon tidak setuju. "Yee, kamu ngga tahu Shill. Larry Page, Mark Zuckerberg, mereka orang terkaya di dunia juga karena programming. Abang kasih tahu ya Shill, satu aplikasi yang terjual jika laris dan bisa dikembangkan, akan menjadi sumber uang tanpa harus bersusah payah bekerja. Jadi tungguin Abangmu ini, jadi programmer ahli."
"Abang dulu kayanya lebih cocok ambil jurusan teknik, Mama lebih suka kalo Abang ambil jurusan itu." Lista berucap dihadapan kedua anaknya yang membahas masalah yang ia tak tahu itu.
"Aduh Mama, anakmu ini udah kuliah hampir empat semester kok belum tahu juga, kalo anakmu ini masuk jurusan Teknik Informatika." Cowok itu yang kesal memukuli kepalanya.
"Oh iya, Mama lupa Bang kalo jurusanmu juga Teknik. Tapi kan, yang Mama maksud teknik itu bukan informatika, melainkan teknik arsitektur, atau fabrikasi logam."
"Terlanjur Mamaku sayang. Abang terlanjur suka sama dunia informatika." Terbukti banyak kejuaraan pemograman yang Alfe juarai, bahkan berkat hobinya itu juga dia bisa mendapat beasiswa untuk kuliah S1.
"Adek gue mukanya kusut kayaknya kurang piknik nih."
"Makanya ajakin adik lo ini piknik, jangan pacaran terus sama laptop!"
"Iya deh besok Abang ajak jalan, nanti kamu minta apa aja Abang turutin. Tapi setelah Abang nepatin deadline."
•••
Angkot yang Shilla naiki dari arah Dago kini berhenti di kawasan Cihampelas, dia turun dan langsung membayar ongkos pada kondektur. Shilla memilih berjalan-jalan sendirian. Memang waktu bersama sahabat atau keluarga itu menyenangkan, tapi terkadang Shilla juga menyukai kesendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cold Breath✓ [Telah Terbit]
Teen Fiction[Part masih utuh] "Lo punya posisi penting buat gue. Karena lo itu orang yang akan jadi prioritas gue kedepannya!" Ucapan itu penuh penekanan. Bermula dari Adshilla yang gagal ikut ujian basket. Membuatnya harus diprivat seorang ketua cabang olahrag...