32 • Axel

1.5K 62 0
                                    

             Di dalam kamarnya yang sunyi. Di depan cermin, Axel duduk seraya mengamati foto seorang gadis berponi dengan wajah yang dapat dikategorikan manis. Seulas senyum tergambar di bibirnya. Sebuah senyuman yang berubah semacam seringai. Axel tahu jika dirinya telah kalah, tapi dia tidak akan dengan mudah menerima kekalahan semua itu.

Bagi Axel ketika ia lengah dalam sebuah permainan, maka kenapa ia tidak mencoba untuk membuat lawannya lengah juga. Dalam persoalan ini Axel memang melibatkan pihak ketiga. Karena dia yakin dalam sebuah permainan akan semakin seru jika ada pihak ketiga. Bukan akan menjadi penengah melainkan penjadi pembakar emosi.

Ponselnya tiba-tiba berdering.

"Gue jamin nanti itu cewek bakal dateng ke tempat yang udah lo booking." Ia mendengar suara Zion dari sana.

Ia menyeringai. "Seberepa yakin lo?"

"Sepenuhnya yakin, tu cewek kan belum pernah kesitu. Voucher segitu mahal mana mungkin untuk dilewatkan."

"Brati rencana awal kita akan segera terlaksana. Dan gue yah, gue senang dengan permainan ini."

"Bentar lagi dia kesana."

Axel melirik arloji di pergelangan tangan, ini sesuai dengan waktu yang tertera pada voucher itu. Segera ia mematikan sambungan telepon. Menyambar jaket pada gantungan, dan mengambil kunci motornya. Ia keluar dari kamar. Dengan santai ia melangkah keluar rumah, tanpa harus berpamitan pada orang tua atau saudara. Tidak ada orang tua yang menanyai kemana Axel akan pergi. Ia telah hidup dalam kepedihan selama hampir empat tahun ini.

Begitu kakinya turun dari tangga kecil depan rumahnya, ia melihat wanita paruh baya membawa bahan masakan.

"Den Axel mau pergi kemana?" Suara Bi Sunti, pembantu rumah Axel. Rumah beliau tidak jauh dari rumahnya, beliau hanya bertugas membersihkan rumah serta memasak. Itu saja Axel jarang pulang ke rumah.

"Saya mau pergi ke luar sebentar Bi, mungkin pulangnya agak malem. Nanti Bibi ngga usah masak banyak. Papa mungkin juga ngga pulang." Katakan jika Axel memiliki hubungan yang tidak harmonis di keluarganya. Semenjak orang tuanya bercerai 4 tahun yang lalu. Papa Axel semakin gila bekerja dan jarang pulang ke rumah. Hanya Bi Sunti dan Pak Jalu—tukang kebun sekaligus sopir di rumahnya yang dekat dengannya.

"Iya Den. Hati-hati, atuh jangan ngebut. Bibi suka deg-degan kalau lihat Aden bawa motor ngebut." Wanita itu sudah seperti seorang Ibu yang mengomeli anaknya, tentu Axel merindukan suara itu dari Mamanya langsung.

Axel tertawa. "Kalo ngga ngebut ngga akan sampe-sampe Bi."

"Bukan masalah cepat atau engganya Den, tapi masalah keamanan. Ingat Den, moto dari Pak Polisi 'Utamakan Keselamatan daripada Kecepatan.'"

"Bibi tahu itu darimana coba?"

"Anaknya Bibi pernah ketilang trus Bibi yang nganterin dia sidang di kejaksaan, eh ngga sengaja lihat tulisan itu."

Axel memasang helm di kepalanya, menutup ristleting jaketnya. Bi Sunti ini memang suka diajak ngobrol, jika ia tidak mengakhiri akhiri obrolan ini mungkin hingga nanti malam tak akan selesai. "Axel pergi dulu ya Bi. Kalo Papa pulang bilang aja,Axel ada di rumah teman."

Motor hitam itu keluar dari pekarangan rumahnya. Rumah yang lebih tepat disebut sebagai tempat numpang istirahat. Mengingat selama ini Axel jarang pulang ke rumah. Rasanya sangat pahit, saat remaja seumuran dia harus jauh dari sosok Ibu. Kasih sayang dari Papa terasa hambar, Papa jarang pulang. Jadi Axel menyendiri, ia butuh orang yang bisa menemaninya.

•••

              Sambil berjalan keluar kamar, Shilla membenahi rambutnya yang sedikit berantakan. Ia sudah berpakaian rapi. Memakai dress selutut dengan lengan panjang, ia juga memakai waist belt dress berwarna putih, dan sepatu kets berwarna senada dengan belt-nya itu. Alfe belum pulang dari kuliahnya, jadi ia tidak perlu repot-repot menjelaskan akan kemana ia pergi.

Cold Breath✓ [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang