39 • Merelakan

1.5K 64 1
                                    

                 Seminggu ini Panji merasa malas untuk keluar rumah. Perasaannya memang tidak sekacau tempo hari yang lalu. Ia mencoba untuk tenang dan mencari keberadaan Shilla. Kekalutan tidak akan memecahkan masalah. Yang terpenting sekarang ia harus bersabar mencari Shilla.

Tempo hari ia datang ke rumah Shilla. Hasilnya sama seperti sebelumnya, bahwa rumah Shilla sepi. Bakery milik Mamanya pun masih tutup. Panji sempat bertemu pelanggan kuenya, meraka juga kecewa dengan tutupnya tempat itu beberapa minggu ini.

Beberapa tempat yang Shilla suka sudah ia kunjungi, semua nihil. Menghubungi ponsel Shilla dan Alfe juga tidak berguna, keduanya tidak aktif. Shilla seperti menghilang ditelan bumi. Perkataan Farhan kemarin cukup membuatnya terhempas. Ia masih belum percaya jika Shilla pindah sekolah tanpa mengabarinya.

Udara dingin dari AC terasa menelisik di kulitnya. Ia mengambil remot AC, menaikkan suhu ruangan supaya lebih menghangat. Tubuhnya ia hempaskan di atas kasur, ia istirahat sejenak. Pikiran dan raganya sangat lelah.

Suara decitan pintu yang ditarik dari luar membuatnya tertoleh dan membatalkan acara tidurnya ini. Wanita itu tersenyum seraya mendorong pintu agar tertutup kembali. Dia duduk di samping Panji, cowok itu bangkit duduk.

"Abang dicariin tuh di depan." Syifa tersenyum, garis manis seorang Ibu memang biasa membuat hati seorang tenang. Merasa jika ada orang yang selalu bersamanya. Sejenak Panji melupakan kesedihannya.

"Siapa Ma?" Syifa terlihat menerawang dan mengerutkan dahi. "Coba kamu lihat dulu ya."

Panji mengangguk, ia memasang sandal jepit di kakinya, melangkah keluar dengan memakai kaus oblong dan celana selutut. Tamunya itu ada di teras, ia sedang duduk.

Wajah yang tidak asing baginya. Panji mengerutkan dahinya, mencoba mengingat. "Kamu Irena kan?"

Gadis yang memakai terusan selutut itu mengangguk. "Iya." Irena mencoba menyusun perkataan. "Kak Panji aku tahu dimana keberadaan Shilla sekarang."

Ucapan itu bagaikan sengatan listrik baginya. Bibirnya langsung membentuk sabit, matanya langsung cerah bak matahari pagi.

"Dimana? Sekarang anterin saya kesana ya. Saya ganti baju dulu."

Irena mengangguk-agguk. Dengan cepat Panji menuju kamarnya untuk mengganti pakaian. Tidak lama kemudian dia muncul dari balik pintu dengan pakaian yang sudah rapi.

"Tapi kalau udah sampai disana. Kak Panji harus janji buat jaga sikap, jangan lepas kendali kaya kemarin di basecamp." Irena menggaruk rambutnya, kemarin Irena sedang menuju kamar mandi saat melintas di area basecamp ia tidak sengaja melihat pertengkaran Panji dan Agris.

Panji tersenyum."Oke." Walau perasaannya menyimpan banyak kecurigaan.

•••

Panji turun dari mobilnya. Semburat kebingungan sangat kentara di wajahnya begitu tiba ditempat yang Irena maksud. Selama mencari Shilla, Panji tidak pernah datang ke tempat ini. Dia tidak pernah terpikirkan tempat ini.

Ia menoleh pada Irena. "Rumah sakit? Siapa yang sakit Ren?" Ada banyak kemungkinan buruk bersliweran di kepalanya. Namun ia mencoba berpikir positif.

"Ayo." Ajak Irena, cewek itu melangkah terlebih dahulu. Panji mengikuti di belakang dengan perasaan gelisah.

Langkah yang pelan tapi terasa mendebarkan. Menyiapkan hatinya ketika ada kemungkinan yang tidak ia harapkan. Mereka berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Bau obat dan suara tangisan para pasien membuat suasana mencekam. Membuat Panji ikut merasa.

Matanya membulat, dari kejauhan ia melihat gadis yang ia cari duduk di kursi tunggu, tepat di depan kamar pasien. Shilla mendongak mendegar derap langkah Panji. Kedua mata mereka saling bertemu. Panji tersenyum, namun perlahan senyuman itu memudar. Ia melihat wajah Shilla yang tidak seceria biasanya. Terlihat banyak kesedihan.

Di sampingnya ada Alfe yang duduk menyangga dagunya. Cowok itu tidak jauh beda dengan Shilla. Wajah yang lelah dan penuh kesedihan.

Mama Shilla ada di kamar pasien, sedang ditangani dokter.

Alfe memberikan isyarat kepada Shilla untuk pergi bersama Panji. Ia paham jika tempat ini bukan tempat yang pas untuk membicarakan hal itu.

Mereka berdua berjalan keluar rumah sakit. Tepatnya di depan rumah sakit ada taman. Panji bingung harus berkata apa.

Ia menghembuskan napasnya. "Kenapa lo ngga bilang kalau Mama sakit?" ucapan itu keluar secara refleks dari bibir Panji.

"Kenapa lo susah buat dihubungin? Kenapa lo ngga bisa terbuka sama gue. Mendadak menghilang tanpa kabar, gue bingung nyariin lo dimana. Perasaan gue benar-benar ngga karuan gue hampir frustasi tapi gue selalu nyoba berpikir positif. Kenapa lo ngga bisa ngehargain gue? gue benar-benar khawatir sama lo."

Napas Panji memburu. Seluruh kegelisahannya ia keluarkan semuanya, dadanya terasa sesak. Ingin marah hingga ke ubun-ubun, tapi ia tidak tega.

"Gue lagi pusing, kenapa lo malah nanyain hal kaya gitu!" Bentakan Shilla. Panji tidak menyangka jika Shilla bisa segalak ini.

Panji menggertakan giginya."Gue peduli sama lo, Shilla! Puas?! Lo bikin gue hampir kehilangan harapan!" kedua remaja itu benar-benar tersulut emosi. Ego menguasai diri mereka.

"Gue juga ngga tau Nji. Bang Alfe baru ngasih tahu kalau Mama sakit setelah kita pulang lihat bintang. Alasan kenapa gue ngga mau cerita ke elo karena gue pengen lo fokus sama kegiatan lo. Jangan mikirin gue terus, gue bukan siapa-siapa lo." Air mata Shilla mengalir.

"Lo pindah sekolah! Itu udah lebih nyakitin buat gue!" Panji menatap lekat-lekat. "Lo ngga bisa dihubugin."

Tangisan Shilla semakin menjadi. Panji mengacak rambutnya frustasi. Lalu menarik Shilla ke dalam pelukannya. Pelukan yang sangat erat. Meluapkan segala kekecewaan, kekesalan, serta kerinduan. Keduanya saling membutuhkan. Tapi ego masih mendominasi diri mereka.

"SHILLA!" Irena berlari mendekati mereka berdua.

Wajah gadis itu tampak basah air mata. Napasnya terengah-rengah karena berlari. Tangisan Irena semakin pecah.

Kedua remaja itu melepaskan pelukannya.

"Mama Shilla udah pergi!" Ucapnya di sela tangisan. Irena menangis sejadi-jadinya. Shilla dan keluarganya bukan orang asing lagi untuknya.

Inilah kehilangan. Katanya ketika kita kehilangan seseorang kita harus merelakan. Semua takdir sudah dituliskan Yang Maha Kuasa.

Dada Shilla terasa sesak. Iya ini adalah kehilangan. Mendadak tubuhnya lemas. Pikirannya langsung nol. Bibirnya terkatup rapat, ia tak sanggup berucap. Kakinya sudah tidak bisa menahan. Tubuhnya meluruh bersamaan dengan air matanya yang membanjiri wajah kusutnya.

Panji menangkap tubuh Shilla.

Mamaaa maafin Shilla ya. Shilla sayang sama Mama sampai kapanpun itu. Shilla mengerti Ma, saat kita kehilagan maka yang dilakukan setelahnya adalah merelakan dan mengikhlaskan. Setelah ini Shilla ngga tahu apakah Shilla bisa. Tapi Shilla selalu berharap, walau Mama telah pergi jauh. Shilla pengen Mama selalu di sisi Shilla memberikan doa doa untuk anakmu ini.

Cold Breath✓ [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang