40 • Akhir

2.1K 76 18
                                    


              Semenjak hari pemakaman Mama Shilla. Panji tidak bertemu lagi dengan gadis itu. Ia sudah mencoba mendatangi rumahnya lagi. Hasilnya lebih buruk dari sebelumnya. Rumah Shilla telah di jual, begitu pun dengan Bakery Mamanya. Ia mencoba bertanya kepada tetangganya dimana rumah Shilla sekarang. Jawabannya mereka semua tidak tahu.

Panji tidak tahu apakah Shilla sekarang sudah pindah. Apakah dia masih di Bandung. Sekolah terasa hampa, dia tidak sekolah lagi di sana. Banyak yang merasa sedih. Ikut merasakan kepergian Lista-Mama Shilla. Mereka juga merasa kehilangan dengan perpindahan sekolah Shilla. Hingga sekarang tidak ada yang tahu Shilla sekolah dimana.

Hari mulai gelap bersamaan dengan matahari yang tenggelam. Tergantikan oleh bulan sabit yang terlihat seperti tersenyum. Langit malam ini terlihat lebih indah dari sebelumnya. Semilir angin menerobos melalui jendelanya. Panji berjalan untuk menutup jendela, menarik gorden hingga tertutup seluruhnya.

Menghembuskan napas, Panji memutar tubuhnya. Ia menyambar jaket biru dongker di gantungan dinding. Sekejap ia memperhatikan wajah kacaunya di depan cermin. Ia berbalik ke kamar mandi untuk mencuci muka. Kembali lagi di depan cermin, merapikan rambutnya yang berantakkan. Seulas senyum tercetak di bibirnya. Meski berat. Malam ini Panji ingin menikmati waktu gelapan yang berhias kerlipan lampu.

"Mau kemana Bang?" Tanya Syifa begitu melihat Panji lewat ruang tengah dengan pakaian rapi.

"Pengen keluar sebentar Ma."

Syifa paham, ia mengangguk. "Hati-hati ya Bang."

Motor hitam yang beberapa hari ini jarang ia gunakan dan hanya mendekam di garasi. Akhirnya malam ini ia ajak keluar. Dia pergi dari pekarangan rumah dengan mengendarai motornya. Udara malam yang dingin terasa penuh ketenagan.

Tubuhnya yang tertutup rapat jaket dongker. Wajahnya tertutup masker hitam dan helm full face melekat di kepalanya. Sorot matanya begitu tajam dari balik helm itu. Terfokuskan pada jalanan. Tidak ada kebut-kebutan. Ia hanya perlu ketenangan dengan mengendarai santai.

Panji tidak tahu apa atau siapa yang mengarahkannya untuk berada di tempat ini. Pikirannya menginstruksi tangannya untuk mengarahkan motor ini ke Taman Kota. Mungkin karena tadi ia ingin menikmati suasana malam. Taman adalah tempat yang tepat.

Kakinya melangkah secara pelan-pelan, melihat orang-orang yang tengah tertawa bersama kekasih, keluarga, atau sahabat. Bibirnya membentuk senyuman, ia teringat dulu masa kecilnya yang sering ke taman bersama keluarga. Sekejap bibirnya kembali diam terkatup, Shilla pernah mengajaknya kesini.

Menarik napasnya panjang. Panji memegangi pangkal hidungnya, ia menunduk. Lalu mendongak, tapi ada yang memberontak dadanya. Matanya susah berkedip. Dia takut jika salah lihat. Shilla berdiri dengan memakai dress putih dengan rambut tergerai. Terurai berterbangan karena ulah angin semilir.

Shilla tersenyum lalu menghampirinya. Sekarang ia berada tepat di depannya. Gadis itu menatap Panji meski kesusahan karena perbedaan tinggi badan mereka.

"Panji." Suara itu, seceria ia yang dulu. Ini nyata, Panji tidak salah lihat.

"Lo ada di sini?" Ia mengerutkan keningnya antara bingung dan tidak percaya.

Gadis itu tertawa, deretan gigi putih itu membuatnya semakin manis. "Secara ngga langsung lo tuh ngehina gue?! kalau ini bukan gue terus siapa? Lo kira gue hantu?" Omelnya.

Panji terbahak memegangi pelipisnya. Tidak ada yang lebih bahagia dari ini. Dia benar-benar Shilla, gadis yang sangat ia rindukan. Kedua tangannya menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Dengan erat dan penuh kehangatan. Mencium aroma rambutnya yang segar. Untuk saat ini ia bahagia. Sejenak ia melupakan kepedihan kemarin.

Cold Breath✓ [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang