15 • Masih Penasaran

2K 66 0
                                    

         Motor grab yang Shilla naiki berhenti di depan rumah. Panji benar-benar tahu rumahnya, terlihat dari pengendara grab yang mengikuti jalur berdasarkan alamat yang panji pesan di aplikasi itu. Shilla turun, ia merogoh dompet di tas abu-abunya, menyerahkan selembar uang dua puluh ribu kepada pria berjaket hitam hijau itu.

"Ngga usah Neng, udah dibayar pakai saldo masnya tadi." Dia menolak.

Shilla terlihat tidak percaya. "Serius pak?"

Bapak itu mengangguk, lalu berlalu meninggalkan rumah ini.

Shilla menghembuskan napasnya, ia tidak menyangka jika niat awalnya menjenguk Panji yang sakit akan berujung seperti ini. Bertemu cowok berandalan yaitu Axel dan Zion. Juga, cewek yang tubuhnya seperti model yang Shilla tidak tahu namanya siapa. Ia mendengkus, sebenarnya cewek itu siapanya Panji apakah dia pacar Panji?

Dia menarik kasar pagar rumahnya, melangkah untuk memasuki kamar. Ia rasa tubuhnya butuh istirahat setelah aksi kejar-kejaran seperti film action yang pernah Shilla tonton bersama Alfe. Begitu pintu kamar ditariknya dari luar, ia terkejut melihat Irena yang merebahkan tubuhnya diatar kasurnya sambil bermain ponsel.

Shilla berjalan ke jendela, melirik ke pekarangan. Ia baru sadar bahwa ada mobil di Irena disana. Berpikir tentang kejadian bersama Panji membuatnya tidak fokus.

"Ngapain lo kesini!" Sambarnya, lalu berjalan meletakkan tas di atas meja belajar.

Begitu mendengar suara itu, suara yang sudah ia tunggu-tunggu untuk diintrogasi. Irena langsung bangkit duduk. "Justru gue yang nanya sama lo, ngapain aja sama kak Panji."

Gadis berponi itu duduk di pinggiran ranjang. "Udah gue tebak, lo pasti bakal nanya ini. Padahal gue sendiri males bahasnya."

Sahabatnya itu kian penasaran. "Yah kok males sih. Gilak keren banget lo, bisa berangkat dan pulang bareng ketua cabor basket."

Ia tersenyum paksa. "Lo emang ngga lihat, tadi gue pulang naik grab. Abangnya baru aja pergi."

Irena terlihat bingung, semakin mendekatkan tubuhnya dengan sahabatnya itu. "Hah? Kok grab sih Shill? Jelas-jelas gue tadi lihat lo lari-lari ke gerbang buat nemuin kak Panji yang udah nunggu lo."

"Tadi Panji." Shilla menjeda sebentar ucapannya, mungkin saat ini belum waktunya untuk menceritakan hal itu kepada Irena. Bagaimanapun juga, itu menyangkut urusan pribadi Panji. "Tadi kak Panji ada urusan sama temannya. Trus gue suruh pulang sendiri."

"Dia nyuruh lo pulang sendirian?" Irena memekik, untung saja rumahnya saat ini sedang sepi.

"Engga juga sih. Tadi dia pesenin gue grab, trus bilang sama Abang grabnya kalau udah sampai suruh ngabarin dia."

"Ahhhhhh... Ya Ampun Shill, dia perhatian banget sama lo!" Wajah Irena seperti tengah berbunga-bunga.

Iya dia perhatian, ninggalin gue karena mau nganterin cewek lain. Shilla memaki dalam hati.

"Awalnya gimana sih? Dia jemput lo?"

Shilla mengerutkan dahinya. "Mana mau dia jemput gue. Kemarin tuh gue jenguk dia, trus gue ketiduran di rumahnya. Akhirnya gue berangkat bareng sama dia, itu aja atas paksaan nyokapnya."

Akan sangat panjang, jika terus membahas hal ini. Ia menoleh ke nakas, seketika matanya membulat. Melihat stoples wafer tango yang dibuka serta kuaci yang yang berceceran. Padahal itu baru ia beli kemarin sebelum ke rumah Panji, itu semua masih utuh.

"Irena kebiasaan banget sih lo!" Serunya menunjuk makanan yang berantakkan itu.

Irena menyengir. "Sori Shill." Ia membereskannya. Lalu mengambil stoples wafer dan kuaci itu ke atas kasur.

Cold Breath✓ [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang