30 • Di bawah rintikan hujan

1.6K 60 0
                                    

Mencintai itu natural timbul dengan sendirinya tanpa harus dipaksa serta alasan yang jelas. Sedangkan ketika dicintai belum tentu aku mencintainya, jadi akan timbul rasa tidak enak sehingga ada dorongan untukku membalas perasaannya. Jika seperti ini sama saja tidak natural, ini paksaan.

---

              Di tempat ini, basecamp Deportes. Panji bangkit berdiri dari tempat duduknya sekarang. Ia berniat untuk keluar dari gedung sekolah ini untuk membeli minuman di minimarket dekat sekolah. Cuaca sore ini yang mendung, terlihat dari warna langit yang sedikit abu-abu. Tidak secerah biasanya, mungkin tak lama lagi hujan turun.

Saat Panji keluar melewati pintu, tanpa sengaja ia berpapasan dengan seorang gadis yang ia kenal sejak lama. "Afril."

"Eh Panji, baru kesini kok mau pergi lagi?"

"Gue mau beli minuman di depan sekolah." Balasnya, Afril ber-oh ria. Setelahnya Panji meninggalkan tempat ini. Ia berjalan dengan derap langkah yang cepat.

Afril menyadari sesuatu, ia keluar dari basecamp dengan membawa benda persegi berwarna coklat klasik. Dia berlari untuk mengejar cowok jangkung itu.

"Panji!" Afril berteriak namun suaranya tidak terdengar oleh Panji.

"Panji dompet lo ketinggalan." Sekali lagi ia berteriak, akhirnya suara itu terdengar oleh Panji. Namun Afril terlalu fokus pada larinya. Hingga seorang pengendara motor lewat, Afril tidak menyadari itu, si pengendara mendapatkan posisi yang susah untuk menghindar karena Afril berlari dengan kencang.

Motor itu tidak menabrak Afril, hanya saja menyerempet tubuhnya hingga ia oleng dan terjatuh. Panji segera berlari untuk menolong Afril.

"Maaf kak. Saya susah menghindar. Habis kakak lari-lari ngga lihat jalan." Si Pengendara yang ternyata siswa kelas 10 itu menyentandarkan motornya. Ia berlutut di depan Afril yang terduduk sambil memegangi kakinya.

Panji melihat luka pada lutut Afril, ada darah yang mengalir tapi lukanya tidak terlalu serius. "Lain kali hati-hati kalo pakai motor." Tukasnya pada pengendara motor. Si Pengendara itu lalu pergi meninggalkan mereka berdua.

"Kaki lo terluka, ini pasti sakit." Cowok itu memegangi area sekitar luka.

"Gue nggapapa." Ucap Afril, padahal ekspresi wajahnya yang meringis menandakan bahwa ia menahan sakit. "Ini dompet lo ketinggalan, gue udah teriak tapi lo ngga denger."

Ia menyerahkan benda itu, Panji berdecak. Perasaan bersalah menyelimuti hatinya. Ini hanyalah dompet yang tertinggal, ia bisa kembali untuk mengambilnya. Mengapa Afril harus nekat mengejarnya hingga terjatuh seperti ini.

Tangan kanan Panji menyelipkan di bawah lutut Afril, sedangkan tangannya di belakang punggung cewek itu. Ia menggendong Afril ke UKS. Panji mendudukannya di atas ranjang, ia mencari kotak P3K. Membersihkan darah pada lutut itu, sesekali Afril meringis merasakan perih ketika obat merah itu menetes di bagian luka.

"Fril, gue bawa ke klinik aja ya. Kayaknya ini bukan sekadar luka aja, gue takutnya keseleo." Ia menatap dengan penuh kekhawatiran. Panji memang tidak terlalu paham pada bagian luka, mungkin itu terlihat luka biasa. Tapi saat melihat Afril terjatuh dengan keras di aspal tadi, ia takut jika ini luka serius.

Bagi Afril, Panji masih sama seperti dulu dibalik sifat galak serta penuh ketegangan, Panji tetaplah seorang lelaki yang memberi perhatian lebih kepada perempuan yang sudah dekatnya. Tatapan menelisik, penuh kekhawatiran pertanda tanggung jawab atas rasa bersalahnya.

"Gue baik-baik aja, Nji."

Menghela napas panjang, ia tahu jika ucapan itu sebuah kebohongan. Mungkin sudah menjadi takdir jika perempuan selalu berkata baik-baik saja untuk menyembunyikan rasa yang sebenarnya.

Cold Breath✓ [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang