Panji tidak habis pikir, kenapa Shilla begitu membuatnya jengkel. Setelah kepergian Racle ke Paris, ia tidak tahu apa rencana Axel selanjutnya. Hingga bodoh sekali ia melibatkan Shilla dalam hal ini. Harus Panji akui jika Axel memang pengecut. Menyeret seorang yang tidak tahu apa-apa ke dalam permainan mereka.Tadi, setelah mengantar Afril pulang. Panji menerima pesan masuk lewat line, yang ia ketahui ia adalah Axel. Berbagai kemungkinan tercampur aduk dalam pikirannya, tentang kenapa Shilla bisa bersama Axel. Tangan Panji geram, ia memukul stir mobilnya. Shilla tidak boleh salah paham ia harus menjelaskan semua ini kepadanya. Jika ia hanya membantu Afril.
Panji sudah tahu tempat Axel dan Shilla berada, tapi matanya menyipit saat melihat orang yang ia cari tengah berjalan di pinggir jalan. Bersama Axel, mereka berdua tertawa seolah telah mengenal lama. Panji menghentikan mobilnya, ia membanting pintu mobil dengan keras sebagai luapan amarah.
Dengan amarah yang memuncak Panji berlari menghampiri mereka. Ia mencekal tangan Shilla yang sontak membuat gadis itu terkejut. "Lo ngapain disini huh?" Rahang Panji mengeras, deru napasnya memburu serta tatapan matanya yang tajam. Pertanda ia benar-benar marah.
"Lo ngapain di sini bareng dia?!" Panji menunjuk pada Axel yang terlihat santai. "Kapan sih lo bisa berpikir pakai logika, ngga pake perasaan terus. Udah tahu dia orang yang mau nyelakain lo di Bistro tempo hari, lo masih ingat kan? mau aja lo diajak pergi."
Secara kasar Shilla menghempaskan tangan Panji. "Kenapa kalau gue bareng dia? Apa urusannya sama lo?"
"Jelas itu urusan gue, dia hampir aja nyelakain lo di Bistro. Kalau lo kenapa-napa siapa yang mau ngurusin."
"Gue ngga minta lo buat ngurusin." Ucapan Shilla begitu menusuk.
"Sikap lo terlalu otoriter Nji." Celetuk Axel.
"Lo ngaca! Racle pergi juga gara-gara sifat lo yang semena-mena sama dia." Panji mendaratkan pukulan di wajah Axel, dari situ keluar darah segar di sudut bibir Axel.
Shilla menarik lengan Panji untuk menjauh dari Axel."Panji! Kenapa sih lo ngga pernah berubah. Selalu apa-apa pakai emosi."
"Gue ngga akan pakai emosi atau kekerasan. Pengecualian buat dia Si Brengsek!" Pukulan itu kembali mendarat di wajah Axel, ini lebih menyerbu secara bertubi-tubi. "Lo hampir nyelakain sepupu gue Racle! Dan lo sebut itu cinta! Bangke!"
Axel menyunggingkan senyumnya, ia merasa puas dengan apa yang dia lihat. Melihat ini semua, Panji berusaha meredamkan amarahnya. Ini bukan waktu yang tepat untuk dia marah, karena itu adalah yang Axel mau.
Melihat bibir Axel yang berdarah, ia melepaskan lengan Panji. Shilla mengambil sapu tangan di tasnya. Ia membersihkan darah di sudut bibir itu. Tangan Shilla meraih lengan Axel untuk berdiri.
Panji menarik napasnya, meraih pergelangan tangan Shilla. "Ayo pulang. Gue bisa jelasin semuanya di mobil. Please!"
Shilla bimbang, ia harus ikut yang mana. Apakah ia harus menolong Axel yang sedang terluka. Atau ikut bersama Panji yang beberapa hari ini meninggalkannya bersama Afril.
"Gue mau pulang bareng lo, setelah nganterin Axel pulang."
"Udahlah Shill gue nggapapa." Ucap Axel, ia membersihkan darah di sudut bibirnya dengan sapu tangan yang diberikan Shilla tadi.
"Buat apa nganterin dia! Dia bukan anak kecil, bangkotan kayak gitu."
Shilla berdecak, ia menghentakkan kakinya. "Terserah kalau lo ngga mau nganterin Axel pulang. Karena gue juga ngga mau pulang bareng lo!"
Cowok menggaruk kepalnya frustasi. "Fine! Kita anterin dia pulang!" Ia menoleh ke Axel yang tengah menyeringai. "Puas lo!"
Kini Shilla beralih pada Axel. "Xel, lo pulang bareng kita ya. Motor lo kan tadi katanya mogok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cold Breath✓ [Telah Terbit]
Ficção Adolescente[Part masih utuh] "Lo punya posisi penting buat gue. Karena lo itu orang yang akan jadi prioritas gue kedepannya!" Ucapan itu penuh penekanan. Bermula dari Adshilla yang gagal ikut ujian basket. Membuatnya harus diprivat seorang ketua cabang olahrag...