"Gimana kalau kita jalan-jalan dulu pakai mobilnya Axel ini. Bila perlu tabrakin ke trotoar habis itu kempesin bannya." Celetuk Panji begitu mereka di dalam mobil perjalanan ke Bandung. Meski sudah lebih mengenal sosok Axel. Tapi tetap saja suka jahil dengan Axel. Entah dendam apa yang mereka pendam. Terasa melebihi dendam emak kehilangan ayam yang teryata di maling tetangganya sendiri.
"Ntar kalau rusak biaya servis mahal. Mending lu pakai buat beli mobil sendiri."
Panji menoleh. "Biaya servis-nya tinggal pakai uang upah gue karena udah bawa pulang mobilnya."
"Kalau gue jadi Axel mending nyuruh orang bengkel atau tukang kebunnya buat bawa pulang mobil ini. Daripada orang kaya lu, susah untuk dipercaya."
"Untung gue tadi ikut bareng lo. Kalau ngga mungkin sekarang Axel udah nyuruh lo pulang sendirian. Kalau ngga lo dijadiin pembantu di rumah nyokapnya." Balasnya seraya menjulurkan lidah.
"Rese lu!"
"Gimana? Ngga mau makan atau kemana gitu? Mumpung masih di Depok loh." Panji mencoba menawari lagi, meski hasilnya nihil.
"Ngga usah, pakai mobil orang juga."
"Tadi Axel bilang boleh dipakai jalan-jalan dulu kalau kita mau."
"Tapi gue ngga mau, sekarang gue mau pulang." Jadi pada akhirnya Panji menurut, ia mengendarai mobil itu menuju Bandung. Rupanya sore ini jalanan sedikit macet. Suasana sore terasa panas serta letih.
Beruntung cewek di sampingnya itu tertidur. Suasana seperti ini memang membuat seseorang jadi bad mood. Walau panas dan sumpek, itu semua Panji abaikan. Melihat seorang yang terlelap dengan wajah yang polos, membuat seulas garis manis di wajahnya.
Mengabaikan jalanan yang padat, tangan Panji mengelus puncak kepala Shilla. Sampai ia tidak sadar jika jalanan kembali lancar. Para pengendara di belakangnya berlomba-lomba membunyikan klakson.
Panji geleng-geleng kepala tersenyum serta meruntuki dirinya sendiri. Seorang yang terlelap di sampingnya itu membuatnya tersenyum tanpa sebab. Tiba juga mobil itu melewati jalanan Bandung. Di hari yang mulai gelap. Shilla menggeliat, merubah posisinya itu. Menoleh ke samping, wajahnya khas orang bangun tidur.
"Gue ketiduran ya, Nji." Tangannya menutup bibir saat menguap.
Alhasil Panji tertawa. Tas hitamnya itu terlempar ke Panji. "Eh eh kok malah nyerang gue sih. Salah gue apa coba?"
"Lo ketawa."
"Emang kenapa kalau gue ketawa? Ngga ada yang nglarang."
"Secara ngga langsung lo ngehina gue!" Nada bicaranya mulai naik.
"Ngehina apa coba. Gue diem aja gini."
"Ya lo ngehina tampang gue waktu bangun tidur." Ia menghembuskan napasnya. Menyandarkan punggungnya.
Jalanan ramai karena besok Minggu, itu artinya malam ini semakin berwarna. Apalagi para remaja yang merileksasikan pikiran usai sekolah. Sepasang kekasih melintas di jalan trotar, mereka berjalan dengan bergandengan sambil tertawa. Saat melewati genangan air, gandengan terputus lalu kembali bergandengan di jalan yang kering.
"Kenapa? Pengen ya?" Panji menggoda. Sejak kapan cowok itu mengamatinya. Ah Shilla baru sadar jika sedari tadi ia mengamati hal yang tak sepantasnya disaksikan.
"Ngga."
Tiba di pekarangan rumah Axel. Beruntung satpam rumah ini sudah ditelpon Axel jadi Panji tidak perlu repot-repot menjelaskan.
Panji menggandeng tangan Shilla. Menuntunnya menuju halte terdekat. Beruntung masih ada bus lewat, keduanya naik.
"Coba lo lihat ke jendela." Ia menoel pipi Shilla, membuat gadis itu secara refleks menoleh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cold Breath✓ [Telah Terbit]
Fiksi Remaja[Part masih utuh] "Lo punya posisi penting buat gue. Karena lo itu orang yang akan jadi prioritas gue kedepannya!" Ucapan itu penuh penekanan. Bermula dari Adshilla yang gagal ikut ujian basket. Membuatnya harus diprivat seorang ketua cabang olahrag...