17 • Yang Sebenarnya

1.9K 77 6
                                    

                Shilla memberesi barang-barangnya dengan terburu-buru. Pelajaran terakhir ini hanya diberi tugas dari guru. Tugasnya yang setumpuk membuat tangan seperti keriting karena kebanyakan menulis. Dia juga heran dengan metode mengajar seperti ini, dia kira di zaman yang semodern ini tidak ada metode mencatat panjang. Bahkan di bimbel ternama biasanya catatan hanya singkat. Dan menurut Shilla ia lebih menyukai buku catatan yang singkat.

Buku bersampul keropi itu ia tutup, akhirnya selesai juga tugasnya. Segera ia menumpuk bukunya bersama buku yang lain. Dia menggendong tas abu-abunya lalu bangkit berdiri. Meleset keluar kelas, namun sebuah suara menghentikannya.

"Shilla, rok lo kok warnanya merah." Irena melongo melihat rok kotak-kotak Shilla. Meski rok SMA bermotif kotak-kotak dan berwarna merah hitam tapi tidak bisa menutupi noda yang menempel.

Shilla menepuk dahinya. "Mampus, gue lupa kalo ini jadwalnya gue datang bulan." Seketika wajahnya berubah muram. "Mana gue ngga bawa pembalut lagi."

Irena berdiri dan mendekati Shilla. Untung di kelas ini hanya ada dirinya, Megan, dan Irena. Megan merogoh sesuatu dari tasnya. "Nih gue bawa." Cewek itu menyerahkan benda yang menjadi kebutuhan pokok perempuan.

"Makasih ya Me." Ia segera ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian Shilla kembali lagi ke kelas, dia juga sudah berganti pakaian dengan kaus olahraga.

"Ngga kelihatan kan?"

Irena dan Megan melihat pada celana Shilla. "Ngga kok santai aja."

Bernapas lega, lalu Shilla duduk. "Syukur deh." Ia meneguk air mineral pada tupperware biru kesayangannya.

"Setelah ini lo mau kemana?" Tanya Megan.

"Gue mau latihan basket."

Irena menggaruk tengkuknya, melawan rasa tidak enaknya untuk bertanya. "Lo ngga latihan dance?"

Ia paham dengan kepedulian Irena. Setelah kemarin ia mendapat kritikan dari Miss Salsa dan sudah menghimbau agar dia berangkat latihan. Apalagi hingga Gilang ketua dance menasihatinya agar berangkat latihan. Tapi ia sudah pikirkan matang, jika latihan dance bisa ia latih autodidak di rumah. Sedangkan basket, ia perlu bimbingan Panji.

"Gue latihan di rumah." Shilla mencoba menghindari topik percakapan kali ini. "Udah ya, gue mau ke lapangan. Bye bye."

Berlari tergopoh-gopoh dengan tas berat di punggunya membuatnya seperti kura-kura. Karena ini lapangan outdoor suasana jadi lebih ramai, di samping lapangan basket tim voli sedang asyik bermain.

Panji sudah berada duluan di lapangan basket. Cowok itu sedang melompat dengan kaki panjangnya saat bermain basket dan meraih rebound pertama. Dengan urat-urat yang menonjol di lengannya dan jakunnya bergerak saat dia meneguk minumannya. Pipi Shilla memerah, ia suka melihat Panji bergerak dengan cara yang sexy.

"Minggir!" Teriakan yang tidak Shilla ketahui dari siapa? Hingga sebuah bola voli terlempar ke arahnya. Berada tepat lurus hampir mengenai kepalanya. Dia tak sanggup mengelak, Shilla menutup matanya. Dia tak merasakan bola itu mengenai kepalanya, tapi dia mendengar suara bola memantul berlawan arah darinya.

Shilla membuka mata, dilihatnya Panji berada di depan matanya. "Shilla, lo nggapapa?" Tanya cowok yang wajahnya masih basah keringat itu.

Tumben Panji memanggil namanya membuat gadis itu semakin gugup. "Emm..Panji."

"Lo ngga terluka kan?" Cowok itu menyibakkan jambulnya. "Nyaris kena."

Hal itu tentu membuat Shilla semakin gugup. Kenapa jantung gue berdetak semakin cepat. Ucapnya dalam hati. Apakah Panji selalu sekeren ini.

Cold Breath✓ [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang