Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
—Aletha
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bahkan setelah satu minggu kemudian, pendekatan yang gue lakuin enggak diindahkan sama sekali sama Rayyan.
Okay, i know that it's my fault. Tapi ...,
sedih rasanya liat dia bisa ketawa sama temen-temennya tapi enggak bisa sekadar senyum tulus ke gue. Mungkin juga ini yang dia rasain waktu dulu gue sempet ngerasa bosen.
"Gak tau ah." Pekik gue spontan setelah berusaha melepaskan diri dari pikiran ini. Rayyan yang di depan gue gak bergeming, cuma ngeliatin gue dengan muka datarnya.
Kalau boleh jujur, serem banget. Kayak dia siap untuk memukul meja ini lalu membaliknya di depan muka gue.
"Gimana rasanya dikacangin, Ra?" Tanya dia tiba tiba. Gue sendiri langsung mendongak.
"Aku udah minta maaf."
"Yaelah, minta maaf mah gampang. Gak ada yang marah juga."
See?
Seserem-seremnya guru gue marah, yang perlu gue lakukan hanya diam dan ngerjain tugas terbengkalai yang udah dia kasih. Tapi Rayyan? Tugas apa yang dia kasih ke gue ketika gue minta maaf aja enggak diterima?
"Gak enak kan digituin?" Tanya Rayyan lagi. Gue hanya menatap sekilas sebelum memutus pandangan lagi.
Tatapannya serem banget dan gue harus bisa melepaskan diri dari itu sebelum ada dua kemungkinan, gue yang ikut meledak atau gue yang akan kalah telak dalam argumen yang gue rasa udah ada di pikiran Rayyan.
Tangannya lantas mengambil sepotong kentang di atas meja lalu memasukkannya ke mulut.
Enggak ada yang berbicara selain orang-orang di sekitar kita. Rayyan yang menunggu gue untuk berbicara dan gue yang enggak tau harus bicara apa.
"Emangnya kamu kenapa sih, Ra? Kenapa menjauh coba? Kamu enggak ngasih aku alasan tau gak?"
"Aku ...," gue menggantungkan kalimat itu sekadar untuk menatap matanya lagi yang memang enggak berpaling.
Dibanding sebuah jalak (nama angkatan dia), gagak, atau jenis burung lainnya yang pernah disematkan ke dia, Rayyan saat ini lebih terlihat seperti elang dan mata tajamnya. Siap buat memangsa lo, si tupai lemah.
"Aku enggak tau kenapa, cuma kayak ... aku ngerasa bosen."
There, i said it. Walaupun gue udah enggak tau seberapa berantakan kalimat gue tadi, gue bisa tau Rayyan mengerti dari perubahan di wajahnya.
"Bosen?"
"Ya ... bosen. It's a common thing dan enggak ada cara lain selain break sebentar kan?"
Rayyan langsung mengerutkan dahinya, "ada lah, banyak solusi lain buat ngehindarin itu. Tapi setidaknya bilang kek? Orang pacaran tuh utamain komunikasi, bukan nyimpen masalah sendiri." Gue bisa mendengar suara helaan napas dari laki-laki di depan gue ini.
"Untung bosennya selesai, coba enggak."
"Rayyan!"
"Nanti akunya digantungin dah."
"Tapi aku enggak gitu!"
"Ya, ini sekali. Kan enggak tau besok-besok bakal gimana, Yara. Mau kayak gini lagi apa?"
Gue langsung cemberut. Yang dibilang Rayyan bener sih, tapi serius deh, gue enggak ada pikiran buat kayak gitu.
"I'm sorry ...." Ucap gue sekali lagi, udah enggak tau harus bicara apa lagi.
"Bosen, Ra. Udah ngomong maaf berapa kali, coba deh itung."
"Ya, kamunya masih marah."
"Siapa yang marah?"
Ih, serius deh. Rayyan kalo lagi marah tuh kenapa argumennya jadi susah banget buat dibantah sih?
"Kamu."
"Aku gak marah, beneran deh. Cuma masih heran aja kenapa enggak bilang dari awal kalau mau ngejauh sebentar karena ngerasa bosen. Kalau kemaren aku nganggepnya kamu minta putus gimana? Terus tau-tau aku udah sama cewek lain?"
Pertanyaan macem apaan lagi sih ini?
Gue langsung menjawab cepat, "aku marah lah."
"Lah, kamunya aja main kabur tapi aku gak marah."
"Rayyan, serius ih! Kalau enggak marah ya jangan kayak gini lagi, kalau marah ya bilang aku harus gimana biar kamu enggak marah lagi." Suara gue langsung meninggi, udah enggak bisa sabar nanggepin Rayyan yang muter semua omongan gue dan menjadikan gue 100% salah dalam kasus ini.
Ya emang 100% salah sih, tapi enggak perlu diperjelas lagi pun gue juga udah tau betul.
"Barusan udah disebut tuh."
Gue langsung mengernyit sebelum dia melanjutkan, "bilang. Apa-apa yang menyangkut urusan berdua tuh bilang, komunikasiin. Enggak usah takut aku marah atau gimana, Yara. Justru kalau kamu gak bilang, aku jadi kesel karena berasa enggak dianggap."
Detik setelahnya adalah gue yang menggigit bibir bawah sendiri dan Rayyan yang ngelus rambut gue tiba-tiba dengan senyum hangatnya yang telah lama hilang.
"Iya, i will try."
Its not taking a long time till the comeback of my long lost baby bird, ditandai dengan Rayyan yang ngeraih tangan gue, lalu menelungkupkan kepalanya ke dalam bilah tangan kanannya yang dilipat di atas meja itu.
Lalu masih dengan alas lengangnya sebagai bantalan, natap gue dengan tatapan yang susah buat dijelasin tapi intinya mampu banget ngeberantakin hati.
Sementara gue masih berusaha buat ngontrol jantung yang udah memompa darahnya secara enggak karuan tanpa ritme jelas, gue cuma bisa senyum sambil sesekali mengelus tangan itu.
Kafe sore itu enggak ramai, iced mocha gue sendiri udah berembun dan es di dalamnya mungkin udah menghilang. Tapi rasanya hari masih mampu berjalan lebih lama lagi, gue dan Rayyan butuh lebih lama lagi.